Selasa, 12 Juli 2011

Pendidikan Anak Boro(Etnografi).


Pendidikan Anak Boro(Etnografi). 
(Rahmat Sahid, Pasca UMS.2011)
A. Biaya Pendidikan
Biaya pendidikan merupakan instrumental input yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Biaya pendidikan terdiri dari semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga ( yang dapat dihargakan dengan uang ).
Biaya pendidikan terdiri dari biaya investasi, biaya operasional, dan biaya personal
a.       Biaya investasi meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap.
b.      Biaya operasioanal meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan, serta segala tunjangan yang melekat pada gaji; bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya pendidikan tak langsung berupa air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak,  dan sebagainya.
c.       Biaya personal meliputi pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
Biaya pendidikan dapat diperoleh dari pemerintah, orang tua siswa, masyarakat, alumni, peserta kegiatan, dan kegiatan wirausaha sekolah.
1. Dana dari Pemerintah
Dana dari pemerintah disediakan melalui jalur Anggaran Rutin dalam Daftar Isian Kegiatan (DIK) yang dialokasikan kepada semua sekolah untuk setiap tahun ajaran. Dana ini lazim disebut dana rutin. Besarnya dana yang dialokasikan di dalam DIK biasanya ditentukan berdasarkan jumlah siswa kelas I, II dan III. Mata anggaran dan besarnya dana untuk masing-masing jenis pengeluaran sudah ditentukan Pemerintah di dalam DIK. Pengeluaran dan pertanggungjawaban atas pemanfaatan dana rutin (DIK) harus benarbenar sesuai dengan mata anggara tersebut. Selain DIK, pemerintah sekarang juga memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana ini diberikan secara berkala yang digunakan untuk membiayai seluruh kegiatan operasional sekolah.
2. Dana dari Orang Tua Siswa
Pendanaan dari masyarakat ini dikenal dengan istilah iuran Komite. Besarnya sumbangan dana yang harus dibayar oleh orang tua siswa ditentukan oleh rapat Komite sekolah. Pada umumnya dana Komite terdiri atas :
a. Dana tetap bulan sebagai uang kontribusi yang harus dibayar oleh orang tua setiap bulan selama anaknya menjadi siswa di sekolah
b. Dana incidental yang dibebankan kepada siswa baru yang biasanya hanya satu kali selama tiga tahun menjadi siswa (pembayarannya dapat diangsur).
c. Dana sukarela yang biasanya ditawarkan kepada orang tua siswa terterntu yang dermawan dan bersedia memberikan sumbangannya secara sukarela tanpa suatu ikatan apapun.
3. Dana dari Masyrakat.
Dana ini biasanya merupakan sumbangan sukarela yang tidak mengikat dari anggota-anggota masyarakat sekolah yang menaruh perhatian terhadap kegiatan pendidikan di suatu sekolah. Sumbangan sukarela yang diberikan tersebut merupakan wujud dari kepeduliannya karena merasa terpanggil untuk turut membantu kemajuan pendidikan. Dana ini ada yang diterima dari perorangan, dari suatu organisasi, dari yayasan ataupun dari badan usaha baik milik pemerintah maupun milik swasta.
4. Dana dari Alumni.
Bantuan dari para Alumni untuk membantu peningkatan mutu sekolah tidak selalu dalam bentuk uang (misalnya buku-buku, alat dan perlengkapan belajar). Namun dana yang dihimpun oleh sekolah dari para alumni merupakan sumbangan sukarela yang tidak mengikat dari mereka yang merasa terpanggil untuk turut mendukung kelancaran kegiatankegiatan demi kemajuan dan pengembangan sekolah. Dana ini ada yang diterima langsung dari alumni, tetapi ada juga yang dihimpun melalui acara reuni atau lustrum sekolah.
5. Dana dari Peserta Kegiatan
Dana ini dipungut dari siswa sendiri atau anggota masyarakat yang menikmati pelayanan kegiatan pendidikan tambahan atau ekstrakurikuler, seperti pelatihan komputer, kursus bahasa Inggris atau keterampilan lainnya.
6. Dana dari Kegaitan Wirausaha Sekolah
Ada beberapa sekolah yang mengadakan kegiatan usaha untuk mendapatkan dana. Dana ini merupakan kumpulan hasil berbagai kegiatan wirausaha sekolah yang pengelolaannya dapatj dilakukan oleh staf sekolah atau para siswa misalnya koperasi, kantin sekolah, bazaar tahunan, wartel, usaha fotokopi, dll.
 Biaya pada satuan pendidkan diperoleh dari pemerintah yang berupa biaya operasional, biaya investasi, biaya bantuan pendidikan dan beasiswa.
Biaya tersebut dialokasikan ke tiap mata anggaran sesuai aturan yang berlaku meliputi :
a.       Belanja Pegawai
b.      Belanja Barang
c.       Kegiatan Belajar Mengajar
d.      Kegiatan Kesiswaan
e.       Kegiatan Perpustakaan
f.       Belanja Pemeliharaan
g.      Subsidi siswa miskin.
 B. Anak Pekerja “ Boro “.
   “Boro” sebetulnya berasal dari bahasa Jawa yang berarti merantau, atau dengan makna bekerja di luar daerahnya sendiri secara musiman dan sewaktu waktu bisa kembali ke daerah asalnya sesuai dengan kebutuhan. ”Pekerja Boro” adalah pekerja musiman yang berasal dari daerah lain untuk mencari nafkah karena keterbatasan sumber daya di daerah asalnya.
       Pekerjaan yang mereka geluti bermacam-macam, mulai dari buruh bangunan, pembantu rumah tangga, penjaga toko, hingga penarik becak dan tukang kayu. ”Pekerja Boro” dikenal mau bekerja keras. Mereka juga ulet dan menjalankan apa saja yang menjadi tugasnya. Selain kondisi alam yang keras, ternyata ada faktor lain yang menyebabkan cukup banyak masyarakat bekerja ke luar daerah, yakni lapangan kerja yang masih minim. Karakteristik pekerja keras dipadu dengan sifat lembah manah dari kaum ”Pekerja Boro”   yang dibawa sejak dari tanah kelahirannya. Sehingga keberadaan mereka di daerah perantauan dapat diterima oleh masyarakat setempat. Dengan diterimanya mereka di masyarakat itu merupakan tonggak dari keberhasilan bisnis ataupun usaha mereka. Ini dapat dilihat dengan banyaknya wirausahawan sukses di beberapa kota diluar  Daerah.  . Kesuksesan para ”Pekerja Boro”  tersebut menjadi daya tarik warga tinggal yang masih dibalut dengan kemiskinan. Sehingga sebagian mereka mencoba ikut merantau untuk merubah nasib.. Sehingga tradisi boro turun –temurun selalu berkembang di masyarakat .

 PAPARAN DAN TEMUAN PENELITIAN
A.  Paparan Data
     1.  Sejarah dan Kondisi geografis
SMP 2 Tambakromo di Desa Maitan , terletak di atas pegunungan Kendeng Pantai Utara Jawa dengan perkiraan 600-800 meter di atas permukaan laut.  Desa Maitan adalah salah satu dari 15 Desa yang ada di Kecamatan Tambakromo Kabupaqten Pati Jawa Tengah. Tanah kapur berbatu kapur putih mendominasi lahan yang ada di sana. Tidak banyak variasi tanaman yang bisa hidup di sana seperti layaknya daerah pegunungan yang subur. Hutan jati dan pekarangan dengan tanaman jati yang sulit hidup terlihat di area desa ini. Di beberapa tempat memang ada sumber air dari dalam goa yang ada, namun sulit kita dapatkan sumber air yang didapat dari sumur buatan masyarakat. Beberapa mata air itulah sebagai penopang harapan bagi terpenuhinya kebutuhan air bersih di sana yang memang terbatas. Musim penghujan dengan curah hujan sedang sampai di bawah normal menjadi kebiasaan terjadi. Musim kemarau sangat panas dan sulit untuk mendapatkan air bersih yang memadai kebutuhan.                 Dalam penuturan masyarakat yang ada, Desa Maitan di sejarahkan sebagai daerah terasing sebab terletak pada Km. 30 dari pusat kota kabupaten dan pada Km. 12 dari kota kecamatan. Desa Maitan terkurung hutan Jati yang menjadi andalan kabupaten Pati. Akses jalan yang sulit itulah menyebabkan keterisolasian pada awal munculnya. Desa Maitan berbatasan dengan Desa Pohgading Kecamatan Winong, Desa Kemadoh batur Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan, Desa Tegalrejo Kecamatan Wirosari Grobogan, dan Desa Pelemsengir Kecamatan Todanan Kabupaten Blora. Perbatasan desa yang ada bukan menandakan kedekatan jarak, tetapi perbukitan dan hutan jati tandus .
Maitan dari kata Paitan yang berati modal yang harus digunakan untuk melakukan usaha. Masyarakat percaya dan selalu menuturkan kepada siapapun, bahwa siapapun yang datang ke Desa Maitan harus membawa modal untuk bisa bertahan hidup di sana. Untuk itu, siapapun yang ingin membengun kehidupan dan berkeluarga di desa ini, harus membawa modal dari luar untuk kehidupan. Salah satu penuturan yang dipegang kuat sampai saat ini adalah bekerjalah di luar desa ini, dan setelah berhasil baru kembali ( “Pekerja Boro”/ Penulis )
 2. Masyarakat Pekerja “ Boro “
            “Boro” sebetulnya berasal dari bahawa Jawa yang berarti merantau, atau dengan makna bekerja di luar daerahnya sendiri secara musiman dan sewaktu waktu bisa kembali ke daerah asalnya sesuai dengan kebutuhan. ”Pekerja Boro” adalah pekerja musiman yang berasal dari daerah lain untuk mencari nafkah karena keterbatasan sumber daya di daerah asalnya.
            Pekerjaan yang mereka geluti bermacam-macam, mulai dari buruh bangunan, pembantu rumah tangga, penjaga toko, hingga penarik becak dan tukang kayu. ”Tenaga kerja dari Desa Maitan  dikenal mau bekerja keras. Mereka juga ulet dan menjalankan apa saja yang menjadi tugasnya. Selain kondisi alam yang keras, ternyata ada faktor lain yang menyebabkan cukup banyak masyarakat bekerja ke luar daerah, yakni lapangan kerja yang masih minim.Karakteristik pekerja keras dipadu dengan sifat lembah manah dari kaum boro Desa Maitan  yang dibawa sejak dari tanah kelahirannya. Sehingga keberadaan mereka di daerah perantauan dapat diterima oleh masyarakat setempat. Dengan diterimanya mereka di masyarakat itu merupakan tonggak dari keberhasilan bisnis ataupun usaha mereka. Ini dapat dilihat dengan banyaknya wirausahawan sukses di beberapa kota diluar  Desa Maitan  . Kesuksesan para boro tersebut menjadi daya tarik warga tinggal yang masih dibalut dengan kemiskinan. Sehingga sebagian mereka mencoba ikut merantau untuk merubah nasib.. Sehingga tradisi boro turun –temurun selalu berkembang di masyarakat Desa Maitan  .  
3.   Kondisi Sosial Ekonomi
     Mayoritas kondisi fisik bangunan rumah yang sederhana seperti rumah dengan atap genteng hasil usaha rumahan, dengan dinding dari kulit pohon jati kering mewarnai sebagian yang ada. Ada sebuah pasar kecil dengan periodisasi pasaran kliwonan  yang berarti lima hari sekali ada pasar muncul di desa ini yang memperjual belikan hasil pertanian, kerajinan dan hasil hutan yang ada. Tampak beberapa toko kecil yang menyajikan barang barang kebutuhan sehari hari , itupun sederhana sekali  Fasilitas pemerintahan desa juga tergolong sederhana, seperti balai desa, posyandu, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama yang berdiri sejak tahun 1992 sampai saat ini ( tempat penulis bertugas dan berjarak 32 Km. dari rumah penulis). Listrik masuk desa baru ada sepuluh tahun lalu. Akses untuk keluar desa juga masih sederhana dan melelahkan, apalagi akses teknologi.
Gambaran itu merupakan fakta sebagian kecil betapa masih rendahnya keadaan sosial ekonomi. Pekerja potensial seperti kaum suami dan laki- laki dewasa lain banyak bekerja di luar desa sebagai “ Pekerja Boro “. Sebagian lain seperti kaum ibu, anak anak dan kaum tua bekerja di sawah tegalan presil ( tanah milik perhutani yang digarap masyarakat untuk menjaga dan merawat tanaman hutan ). Hasil pertanian tersebut tidak mampu menghasilkan untuk kehidupan layak. Yang ditanam di areal presil tersebut sebagian besar jagung dan ketela. Itupun berada di sela sela tanaman hutan jati. Memang tampak beberapa hewan ternak seperti kambing, dan sapi. Masyarakat mengaku itu hanya sebagai sambilan yang dapat dijangkau tenaganya oleh anak-anak dan kaum tua.
4.  Kondisi Sosial Budaya
            Gotong royong dan kebersamaan masih sangat kental mewarnai kehidupan masrarakat sederhana di Desa Maitan ini. Patronalistik tetap terjaga untuk mengatur keseimbangan bermasyarakat. Adakalanya masyarakat “Pekerja Boro” yang datang dari merantau membawa pengaruh dari luar yang berdampak mewarnai budaya masyarakat. Pengaruh tersebut ada yang berdampak negatif tetapi juga ada yang positif yang membawa kemajuan kehidupan. Sosial budaya yang mereka miliki tercermin dalam beberapa efen dan kegiatan yang mereka lakukan yaitu kebiasaan sedekah bumi yang dirayakan dengan arak arakan dan pentas kesenian yang ada seperti seni barongan, seni tayuban , ketoprak dll. Yang lebih terasa lagi adalah budaya perkawin dan sunatan  yang dirayakan dengan menggelar pertunjukan seni daerah yang dimiliki seperti di atas, dan harus mengitari tempat punden ( tempat yang dikeramatkan masyarakat berupa sendang dan pohon besar ) bagi mempelai perkawinan dan sunatan.
            Kepercayaan yang berbau klenik juga akrab bagi orang orang di Desa Maitan ini . Apapun kegiatanyang mereka hendak jalani, baik sosial, ekonomi, bahkan politik, sangat dipercaya dengan petunjuk dari tetua ( Mbah Dukun ) yang sangat dipercaya kebenarannya. Jangankan nasib, kematianpun juga bisa ditanyakan pada Mbah Dukun ini. Keberadaan kehidupan beragama juga ada , namun masih tergolong dangkal. Hal inilah yang menyebabkan suburnya kehidupan klenik di sana.
            Kejujuran dan ketulusan serta kepolosan kebiasaan masyarakat Desa Maitan tergolong tinggi. Hampir seperti budaya yang dimiliki oleh” Masyarakat Samin” di Sukolilo Kabupaten Pati ( maklum tempatnya berdekatan sesama di pegunungan Kendeng ). Dengan potensi budaya yang demikian menjadikan masyarakat Desa Maitan menjadi tentram, seimbang walau lambat kemajuannya. Tetapi inilah yang dikehendaki oleh masyarakatnya.
 5.  Kondisi Sosial Politik
                        Tidak banyak fakta yang dapat diambil dari sisi kehidupan sosial politik di desa Maitan ini. Masyarakat dengan kondisi pengaruh luar yang jarang terjadi dan kesibukan bekerja menjadikan apatis terhadap kehidupan politik. Sesekali jika masyarakat ditanya maka yang tampak hanya pengetahuan mengenahi siapa yang menjadi presiden sekarang, dan kapan mereka mengikuti pemilu yang lalu, serta apa pilihan partai politik yang mereka miliki. Dalam pemerintahan desa sebagai proses politik sederhana yang mereka miliki juga tidak terlalu menjadi perhatian mereka. Mereka hanya tahu bahwa kepala desa sudah terpilih, perangkat desa yang lain juga sudah ada . Sangat patuh dan selalu melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintahan desa sudah menjadi kebiasaan. Jarang sekali mereka mempertanyakan apa kebijakan itu, mengapa harus diberakukan dan untuk apa tujuannya.
                        Hidup tentram dalam kesederhanaan tetapi sulit untuk maju, itulah gambaran sebuah kehidupan yang menjadi pilihannya.
B.  Temuan Penelitian
1.      Kondisi sosial ekonomi
             Dia anak pertama dari tiga bersaudara yang kesemuanya laki-laki. Jarang ketemu dengan bapaknya  karena sering merantau mencari nafkah di daerah lain. Ketemu dengan ibu pun juga sewaktu menjelang petang. Demikian keseharian dialami dengan kedua adiknya yang masih duduk di kelas IV SD dan umur 4 tahun yang terkecil. Kebiasaan untuk memasak dan mengurusi keperluan sehari- hari untuk dirinya sendiri dan kedua adiknya menjadi wajib yang harus dijalaninya. Ibunya pergi pagi pulang petang ke kebun “ persil  “ ( tanah garapan milik perhutani ) dengan tanaman jagung di sela sela hutan jati . Tak seberapa hasil yang didapat dari berkebun, yang kerap gagal akibat serangan hama entah babi hutan, kera atau tikus. Makan dengan lauk seadanya, bahkan kadang hanya dengan sayur daun ketela dari kebun sisi rumah yang di campur dengan garam. 
             Pakaian seragam yang lusut, jarang disetrika menjadi pakaian istimewa. Tak banyak pakaian lain karena jarang dibelikan orang tuanya. Sepulang sekolah dia harus membimbing dan mengawasi adik-adiknya di sela-sela menggembalakan dua ekor kambing titipan tetangga sebelah untuk dipelihara ( hewan nggaduh ). Dia harus berbagi tugas dengan adik-adiknya yang masih kecil untuk mengambil air dari sendang mata air berjarak 300 meter dari rumahnya. Kadang- kadang juga mengambil kayu bakar di hutan. Menggembirakan sekali jika ada tetangga minta bantuan untuk pijit badan lelah dengan imbalan tiga ribu rupiah. Jadilah tabungan untuk biaya sekolah.
             Rumah dengan ukuran 5 x 6 meter beratap genteng buatan tetangga ( home Industri ) berdinding kulit kayu jati kering dan banyak bolongnya. Sering bocor jika hujan, pengap karena tidak ada ventilasi, dan rumput tumbuh di sekitar rumah . Jarang sekali sekolah dengan uang saku. Pergi ke sekolah berjalan kaki dengan jarak hampir satu kilometer dari rumah dengan sepatu lusut bolong depannya. Dia jalani kesemuanya itu dengan penuh syukur, asal bisa sekolah.
2.      Pekerjaan Orang tua.
             Bapak sudah tiga bulan ini tidak pulang .Bapak  bekerja “ Boro “  ke Surabaya dengan pekerjaan mengayuh becak bersama dengan tetangga yang lain. Kebiasaan menjelang bulan puasa bapak pasti pulang untuk berpuasa dan berlebaran di desa kelahiran, dan setelah itu juga berangkat kembali. Sesekali pulang di luar kebiasaan, bila ada pekerjaan di desa yang tak dapat dilaksanakan oleh ibu sendiri, atau kalau ada hajatan saudara dalam perkawinan atau sunatan. Jika musim tanam atau panen  jagung datang , ayah memilih bekerja di desa dan tidak pergi ke Surabaaya.  Penghasilan ayah tidak menentu, jika nasib baik , bisa mengirim uang untuk keperluan sehari hari di rumah. Tak jarang pulang dengan hasil yang pas-pasan.
3.      Keinginan kuat untuk sekolah
             Bulat tekadnya untuk tetap bisa sekolah dan akan melanjutkan ke SMK  ( STM Permesinan ), sebagai bekal ketrampilan dan bekerja di bengkel kelak. Itulah cita- cita yang sederhana, walau dengan pengorbanan yang sangat maksimal. Lulus SD satu setengah tahun yang lalu, hampir saja dia tidak melanjutkan sekolah di SMP yang kebetulan berada di desanya. Orang tua memaksa untuk membantu bekerja di kebun persil milik ibu. Dengan mengiba kepada Bapak Ibu akhirnya dia  diizinkan mendaftar ke SMP 2 Tambakromo .         Dia memberanikan diri untuk menghadap kepala SMP 2 Tambakromo, dan mengutarakan keinginan untuk sekolah, tetapi tidak ada biaya. Dia bersyukur, karena Kepala Sekolah membebaskan dia dari segala iuran, walaupun untuk keperluannya sendiri, misalnya pakaian seragam. Semangat bertambah kala dia dibelikan sepatu dan tas sekolah oleh kepala sekolah. Dia meyakinkan kepada orang tuanya bahwa dia mampu membagi waktu untuk sekolah dan membantu bekerja serta menjaga adik-adiknya.
             Sekarang dia sudah kelas VIII, dan termasuk siswa berprestasi di kelasnya. Dengan penerangan bolam listrik kecil dari sadapan aliran listrik tetangga, dia selalu semangat belajar dengan adik-adiknya. Sering juga teman-teman ikut belajar bersama di rumahnya, untuk mengerjakan PR ( pekerjaan rumah ), karena dia termasuk anak pandai dan tekun.
4.      Pembiayaan sekolah
                        Dengan berbekal surat keterangan tidak mampu dan kartu jamkesmas dari desa, dia minta kepada sekolah untuk mendapatkan keringanan, dan pembebasan iuran sekolah.  Sekolah memang memberi keringanan dan pembebasan segala iuran, tetapi masih ada kebutuhan uang untuk keperluan pribadi berkaitan dengan sekolah yang harus dia pikirkan. Membeli buku tulis, pensil, bolpoin, tas, sepatu, beberapa LKS ( lembar kerja siswa ), dan iuran kebersamaan kelas serta sesekali uang jajan, menjadi pemikiran yang berat bagi dia dan orang tuanya. Beruntung jika bapaknya pulang dan memberinya uang untuk keperluan tersebut.
                        Dia memikirkan program wisata siswa yang diikuti siswa kelas VIII. Ada kebijaksanaan dari sekolah bahwa  tidak semua siswa harus ikut, jika tidak mampu maka boleh tidak ikut, atau harus ada subsidi silang dari siswa yang lain.  Walaupun bebas dari iuran wisata siswa, jika dia ikut program tersebut, masih memikirkan uang saku .  Bapaknya memberi janji untuk memberi uang saku , nanti pada waktunya wisata siswa berlangsung . Mencari kepompong ulat daun jati ( enthung ) harus dia jalani untuk dikonsumsi sendiri atau  dijual . Dari situ dia mendapatkan sedikit uang untuk persiapan ikut program wisata siswa yang akan datang.  Dia yakin bahwa jika ada ke mauan dan doa, pasti jalan itu datang dengan sendirinya. Hanya Allah Yang Maha Penentu.
    
 PEMBAHASAN DAN TEMUAN PENELITIAN
 A.      Pembahasan Data
1.                Pemenuhan  biaya pendidikan anak “Pekerja Boro”
                                    Keinginan kuat untuk sekolah mendorong upaya orang tua dan anak tersebut sendiri untuk melakukan berbagai cara yang mereka mampu dan layak dilakukan . Cara dan upaya pembiayaan pendidikan dilakukan oleh orang tua dan anak tersebut sendiri dengan cara :
a.    Bapaknya bekerja di luar desa secara musiman, atau sebagai “pekerja boro “ sebagai tukang becak untuk mendapatkan uang demi pembiayaan sekolah.
b.    Ibunya bekerja di sawah persil ( milik perhutani ) dengan bercocok tanam jagung.
c.    Anak tersebut berternak kambing milik orang lain, dan mendapatkan hasil bagian keuntungan dari penjualan ternaknya.
d.   Anak tersebut mendapatkan upah dari jasa pijit orang lelah yang menyuruhnya.
e.    Anak tersebut mendapatkan uang dari hasil penjualan ulat kepompong daun jati ( enthung ) jika ada musimnya.
f.      Anak tersebut mendapatkan keringanan pembiayaan dari sekolah dalam bentuk pemberian seragam, sepatu, tas sekolah secara  gratis, bebas dari segala iuran sekolah, keringanan biaya wisata siswa kelas VIII,   pembebasan beberapa biaya LKS .
2.                Kebijakan  sekolah tentang  pembiayaan anak “Pekerja Boro” 
                        Pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan untuk menyukseskan pendidikan dasar 9 tahun. Pemberian pendanaan untuk sekolah tingkat SD dan SMP sederajat merupakan upaya membantu masyarakat dalam meringankan pendanaan pendidikan pada tingkat tersebut , sekaligus menyukseskan program wajib belajar 9 tahun. Melalui dana BOS, pemerintah menginginkan untuk pembiayaan pendidikan terutama pada biaya operasional sekolah bisa tercukupi, sehingga tidak memberatkan masyarakat. Dalam beberapa ketentuan penggunaan dan larangan penggunaan dana BOS, salah satunya adalah larangan pungutan uang  kepada orang tua siswa yang digunakan untuk biaya operasional sekolah, anjuran pemberian bea siswa miskin bagi anak-anak kurang mampu dan lain- lain.
                        Sekolah dapat mengambil kebijaksanaan dalam pembiayaan sekolah bagi anak-anak orangtua kurang mampu dengan cara :
a.    Memberi keringanan  segala bentuk iuran sekolah kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu.
b.    Membebaskan   segala bentuk iuran sekolah kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu.
c.    Memberi bantuan transport sekolah kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu.
d.   Memberi bantuan bea siswa  sekolah kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu.
e.    Memberi bantuan seragam sekolah  kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu.
f.     Memberi bantuan pembebasan pembayaran uang LKS kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu
g.    Memberi bantuan keringanan atau pembebasan iuran biaya wisata siswa kelas VIII  kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu.
 Teori Hasil Penelitian
1. Pemenuhan  biaya pendidikan anak “Pekerja Boro”
Biaya pendidikan anak “ Pekerja Boro “ dapat dipenuhi dengan :
a.       Orang tua bekerja sebagai “pekerja boro “ menjadi tukang becak untuk mendapatkan uang demi pembiayaan sekolah.
b.      Orang tua bekerja di sawah persil ( milik perhutani ) dengan bercocok tanam jagung.
c.       Anak berternak kambing milik orang lain, dan mendapatkan hasil bagian keuntungan dari penjualan ternaknya.
d.      Anak mendapatkan upah dari jasa pijit orang lelah yang menyuruhnya.
e.       Anak mendapatkan uang dari hasil penjualan ulat kepompong daun jati ( enthung ) jika ada musimnya.
f.        Anak mendapatkan keringanan pembiayaan dari sekolah dalam bentuk pemberian seragam, sepatu, tas sekolah secara  gratis, bebas dari segala iuran sekolah, keringanan biaya wisata siswa kelas VIII,   pembebasan beberapa biaya LKS .
2.   Kebijakan  sekolah tentang  pembiayaan anak “Pekerja Boro” 
Kebijakan  sekolah tentang  pembiayaan anak “Pekerja Boro”  dapat ditempuh dengan cara :
a.    Sekolah memberi keringanan  segala bentuk iuran kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu.
b.    Sekolah membebaskan   segala bentuk iuran kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu.
c.    Sekolah  memberi bantuan transport kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu.
d.   Sekolah  memberi bantuan bea siswa  kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu.
e.    Sekolah  memberi bantuan seragam sekolah  kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu.
f.     Sekolah  memberi bantuan pembebasan pembayaran uang LKS kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu
g.    Sekolah  memberi bantuan keringanan atau pembebasan iuran biaya wisata siswa kelas VIII  kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu.
  Kesimpulan
            Dari paparan data dan temuan penelitian, dapat disimpulkan, bahwa,pembiayaan pendidikan anak “pekerja boro “ dapat dipenuhi dengan cara Orang tua bekerja sebagai “pekerja boro “ menjadi tukang becak , bekerja di sawah persil ( milik perhutani ) dengan bercocok tanam jagung anak berternak kambing milik orang lain, dan mendapatkan hasil bagian keuntungan dari penjualan ternaknya,anak mendapatkan upah dari jasa pijit orang lelah yang menyuruhnya, anak mendapatkan uang dari hasil penjualan ulat kepompong daun jati ( enthung ) jika ada musimnya, anak mendapatkan keringanan pembiayaan dari sekolah dalam bentuk pemberian seragam, sepatu, tas sekolah secara  gratis, bebas dari segala iuran sekolah, keringanan biaya wisata siswa kelas VIII,   pembebasan beberapa biaya LKS .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar