Senin, 11 Juli 2011

FILSAFAT PRAGMATISME

 
 
ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME
 (Rahmat Sahid, Pasca UMS.2011)
A.    Pendahuluan
Kita sering mendengar atau bahkan mengucapkan kata-kata “pragmatis”, “berguna”, “Silahkan lakukan yang memberi manfaat bagi kalian”, “jangan lakukan hal-hal yang tidak berguna” dan dapat juga berupa pertanyaan “ada gunanya atau tidak kegiatan itu ?”. Kata-kata tersebut di atas berfokus pada kebermanfaatan, kefaedahan, kebergunaan dari suatu kegiatan. 
Mencermati kata-kata yang terucap tersebut pasti dipengaruhi oleh cara berpikir tertentu. Cara berpikir ini sebenarnya mencerminkan cara berpikir suatu aliran filsafat. Secara fenomenologis hal itu berarti ada suatu sumbernya.  Apakah sumber itu?
Berikut ini kita akan memasuki sumber itu untuk mengerti latar belakang aliran atau cara berpikir apa yang mempengaruhi ungkapan-ungkapan di atas.

B.     Filsafat Pragmatisme
1.      Filsafat
Jujun S. Suriasumantri (1996:20-22) mengungkapkan bahwa karakteristik berpikir filsafat ada tiga, yaitu (1) Menyeluruh, seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dilihat dari segi pandangan ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakekat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lain. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya. (2) Mendasar, yaitu dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Dia ingin tahu mengapa ilmu itu bisa disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar itu sendiri itu apa? Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan pun sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar? (3) Spekulatif, menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari sebuah titik bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar? Apakah yang disebut sahih? Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini ada tujuannya atau absurd? Adakah hukum yang mengatur alam dan segenap sarwa kehidupan?
Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek, tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian.
Ada tiga peranan yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu keheranan/takjub, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan. Berawal dari dorongan keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasan inilah filsafat menjelma sebagai Pendobrak, Pembebas dan Pembimbing (Surajiyo, 2007).
Filsafat sebagai pendobrak karena berabat-abat lamanya intelektualitas manusia tertawan dalam penjara tradisi dan kebiasaan. Manusia terlena dalam alam mistik yang penuh sesak dengan hal-hal serba rahasia yang terungkap lewat berbagai mitos. Keadaan itu berlangsung cukup lama dan kehadiran filsafat telah mendobrak pintu dan tembok tradisi yang begitu sakral yang selama itu tidak boleh digugat. Filsafat sebagai pembebas karena filsafat merenggut manusia keluar dari penjara.. Filsafat membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan kebodohannya. Demikian pula filsafat membebaskan manusia dari belenggu cara berpikir mistis. Filsafat sebagai pembimbing karena filsafat telah membimbing manusia dari cara berpikir yang mistik untuk berpikir rasional. Membebaskan manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal membimbing manusia berpikir lebih luas dan mendalam (Surajiyo, 2007).
Mencermati hal tersebut di atas, maka kegunaan filsafat pada umumnya dapat dikatakan bahwa dengan berlajar filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk menangani berbagai pertanyaan mendasar manusia yang tidak terelakkan dalam wewenang metodis ilmu-ilmu khusus. Jadi filsafat membantu untuk mendalami berbagai pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas dan lingkup tanggung jawabnya.

2.      Filsafat Pragmatisme
Pragmatisme adalah sebuah aliran dalam filsafat. Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan. “Isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham.
Teori pragmatisme dicetuskan oleh Charles Sandre Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul ”how to make our ideas clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika. Ahli-ahli filsafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis. (Jujun S. Suriasumantri, 1996:57)
 Kendati pragmatisme merupakan filsafat Amerika, metodenya bukanlah suatu yang sama sekali baru. Socrates sebenarnya ahli dalam hal ini, dan Aristoteles telah meggunakannya secara metodis John Locke (1632-1704), Goerge Berkeley (1685-1753 dan Dayid Hume (1711-1776) mempunyai sumbangan yang sangat berarti dalam pemikiran pragmatisme ini (Copleston, 166:342 dalam Muhammad Najib Abdullah 2004:1).
Bagi seorang pragmatisme kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehirupan manusia. Dengan demikian pragmatisme berarti : ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori dapat diaplikasikan). Jadi filsafat pragmatisme yaitu aliran yang beranggapan bahwa benar dan tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung pada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak di dalam kehidupannya (Muhammad Shiddiq Al Jawi,1995).
Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perbedaan filosofis-metafisik  yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani Kuno (Guy W. Stroh:1968 dalam Muhammad Najib Abdullah:2004).
Selama pragmatisme melakukan usaha untuk memecahkan masalah-masalah metafisik, akhirnya pragmatisme menemukan suatu metoda yang spesifik, yaitu dengan mencari konsekuensi praktis dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut masing-masing pihak. Dalam perkembangannya metode tersebut diterapkan dalam setiap bidang kehidupan masunia, karena pragmatisme adalah suatu filsafat tentang tindakan manusia. Maka setiap bidang kehidupan manusia menjadi bidang penerapan dari filsafat yang satu ini. Dan karena filsafat pragmatisme ini dalam mengambil keputusan serta melakukan tindakan tertentu menyangkut pengalaman manusia sendiri, filsafat inipun segera menjadi populer. Filsafat ini berkembang dan menjadi sebuah aliran pemikiran yang sangat berpengaruh di Amerika pada abad ke-19 sekaligus menjadi filsafat khas Amerika. Di amerika filsafat ini menjadi suatu metode dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu atau menyangkut kebijaksanaan tertentu. Di Amerika ia juga dikenal sebagai suatu model pengambil keputusan, model bertindak dan model praktis Amerika.
Sesuatu yang penting dalam filsafat pragmatisme dan menjadi pegangan adalah logika pengamatan. Oleh karena itu aliran ini bersedia menerima segala sesuatu asal saja membawa akibat praktis, meskipun itu pengalaman-pengalaman yang bersifat pribadi, kebenaran mistis, semuanya dapat diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan, dengan syarat membawa akibat praktis yang bermanfaat. Atas dasar inilah maka patokan bagi pragmatisme adalah ”manfaat bagi hidup praktis”.
Dasar-dasar yang digunakan dalam filsafat pragmatisme adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Pertama :
Pragmatisme menolak segala intelektualisme. Ini berarti menentang rasionalisme sebagai sebuah pretensi dan metode. Dengan demikian tidak mempunyai aturan-aturan dan doktrin-doktrin yang menerima metode.
Kedua :
Pragmatisme menolak absolutisme. Pragmatisme tidak mengenal kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum ataupun bersifat tetap bahkan yang berdiri sendiripun tidak ada. Alasan ini disebabkan adanya pengalaman yang berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa akan berubah, karena dalam prakteknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutlak, kecuali yang ada adalah kebenaran-kebanaran (dalam bentuk jamak), artinya apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya. Kebenaran yang ada hanyalah kebenaran-kebenaran yang bersifat jamak, artinya benar pada pengalaman-pengalaman khusus akan berubah pada pengalaman berikutnya. Jujun S. Suriasumantri (1996:59) mempertegas bahwa secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian.

Ketiga :
Pragmatisme meremehkan logika formal. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pegangan pragmatisme adalah logika pengalaman. Hal ini dapat berupa pengalaman-pengalaman pribadi ataupun pengalaman mistis. Pragmatisme dalam membuat suatu kesimpulan-kesimpulan tidak memiliki aturan-aturan yang tetap yang dapat dijadikan standar atau ukuran. Hukum kebenaran yang terus berjalan ini, maka nilai pertimbangannya adalah akal dan pemikirannya, sementara yang dijadikan sebagai tujuan adalah dalam perbuatannya atau aplikasinya. Proses yang terjadi pada akal dan pemikiran itu harus mampu menyesuaikan dengan kondisi dan situasinya. Sesungguhnya akal dan pemikiran itu menyesuaikan diri dengan tuntutan kehendak dan tuntutan perbuatan.
Seperti kita lihat dalam uraian di atas, secara umum orang memakai istilah pragmatisme sebagai suatu ajaran yang mengatakan bahwa suatu teori itu benar sejauh suatu mampu dihasilkan oleh teori tersebut. misalnya suatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat. Sutrisno dalam Muhammad Najib Abdullah (2004) menyatakan bahwa pragmatisme Peirce yang kemudian hari ia namakan pragmatisme lebih merupakan suatu teori mengenai arti (Theory of Mearning) dari pada teori tentang kebenaran (Theory of Thruth).
Menurut Peirce dalam Muhammad Najib Abdullah (2004) kebenaran itu ada bermacam-macam. Ia sendiri membedakan kemajemukan kebenaran itu sebagai :
Pertama, transcendetal truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal itu bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri. Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah pada ”things as things”.
Kedua, complex truth yang berarti kebenaran dari pernyataan-pernyataan. Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal, yaitu kebenaran etis di satu pihak dan kebenaran logis di lain pihak. Kebenaran etis, adalah seluruh pernyataan dengan siapa yang diimani oleh sipembicara. Sedangkan kebenaran logis, adalah selarasnya suatu pernyataan dengan realitas yang didefinisikan.
Patokan kebenaran proporsi atau pernyataan itu dilandaskan pada pengalaman. Artinya suatu proporsi itu benar bila pengalaman membuktikan kebenaran. Proposisi itu keliru apabila bertentangan dengan realitas yang diucapkannya, bertentangan dengan pengalaman realitas.
Ketiga, yaitu ide tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang diamati oleh penilik. Pierce menamai ide ini ide ketigaan. Secara praktis, kekhasan pragmatisme Pierce merupakan suatu metode untuk memastikan arti ide-ide di atas. Penekanan segi teori arti dalam pragmatisme Pierce dapat kita lihat dalam rumusan lengkapnya mengenai pragmatisme. Pragmatisme adalah suatu teori untuk dapat memastikan makna dari suatu ide intelektual. Caranya adalah orang harus mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi praktis dari teori tersebut. inilah yang menentukan arti ide tersebut, inilah kekhasan pragmatisme Peirce.
Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American Literary Thought (1974) dalam Muhammad Najib Abdullah (2004) menjelaskan bahwa Peirce memformulasikan tiga prinsip lain yang menjadi dasar pragmatisme antara lain sebagai berikut :
  1. Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih dari pada kemurnian opini manusia.
  2. Bahwa apa yang kita namakan ”universal” adalah opini-opini yang pada akhirnya setuju dan menerima keyakinan dari ”community of knowers”.
  3. bahwa filsafat dan matematika harus dibuat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang nyata bagi masyarakat (komunitas).
Di samping itu juga William James dalam Muhammad Najib Abdullah (2004) mengajukan prinsip-prinsip dasar terhadap pragmatisme sebagai berikut :
  1. Bahwa dunia tidak hanya terlihat menjadi spontan, berhenti dan tak dapat diprediksi tetapi dunia benar adanya
  2. Bahwa kebenaran tidaklah melekat dalam ide-ide, tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide dalam proses yang dipakai dalam situasi kehidupan nyata.
  3. Bahwa manusia bebas untuk meyakini apa yang menjadi keinginannya untuk percaya akan dunia, sepanjang keyakinannya tidak berlawanan dengan pengalaman praktisnya maupun penguasaan ilmu pengetahuan.
  4. Bahwa nilai akhir kebenaran tidak merupakan satu titik ketentuan yang absolut, tetapi semata-mata terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada kebenaran-kebenaran yang lain tentang dunia di mana kita tinggal di dalamnya.
Muhammad Najib Abdullah (2004) mengatakan bahwa bagi kaum pragmatis untuk mengambil tindakan tertentu ada dua hal penting. Pertama : ide atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan tertentu. Dan kedua tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dari metode bertindak yang pragmatis. Karena itulah pragmatisme diartikan sebagai suatu filsafat tentang tindakan. Itu berarti bahwa pragmatisme bukan merupakan suatu sistem filosofis yang siap pakai yang sekaligus memberikan jawaban terakhir atas masalah filosofis. Pragmatisme hanya berusaha menentukan konsekuensi praktis dari masalah-masalah itu, bukan memberikan jawaban final atas masalah-masalah itu.
Pragmatis apabila dilihat dari sisi kelebihan atau keuntungan mempelajarinya adalah kemudahan hidup yang tidak perlu berangan-angan atau berfikir yang muluk-muluk, namun cukup berfikir yang praktis dengan mempelajari pengalaman-pengalaman sendiri yang telah dilalui. Pengalaman-pengalaman itu termasuk hal-hal yang bersifat pribadi berkaitan dengan mistis atau agama, yang penting memberikan manfaat, kedamaian hati, keberanian hidup.
Sementara kelemahan yang terdapat pada filsafat pragmatisme adalah pada ketiga doktrin pragmatis yang perlu ditinjau lagi. Misalnya menolak intelektualitas yaitu rasionalitas sebagai metode. Persepsinya tidak ada planning atau rencana dalam pemikiran untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu, karena semuanya berjalan tanpa dikendalikan oleh akal. Pengalaman-pengalaman adalah yang terpenting yang dapat memberikan nilai praktis hidup. Namun apa yang terjadi jika pengalaman-pengalaman yang muncul adalah pengalaman-pengalaman yang mengerikan (pembunuhan, perkosaan, kecelakaan dan lain-lain), yang menimbulkan akibat trauma. Barang kali pengalaman-pengalaman inilah yang harus ditinggalkan karena berakibat pada kecemasan dan keraguan-keraguan dalam dirinya.

C.    Penutup
Filsafat itu adalah alat untuk menolong manusia dalam hidup sehari-hari dan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan mewujudkan dunia teknik (praktis). Filsafat sebagai pendobrak pintu-pintu dan tembok-tembok penjara dari kungkungan pola tradisi dan kebiasaan yang sakral. Kesakralan telah merenggut daya intelektualitas manusia sebagai seorang pemikir. Filsafat sebagai pembebas intelektualitas manusia dari penjara itu sendiri. Dengan berfilsafat manusia dapat menggunakan intelektualitasnya untuk menjawab segala macam permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Mencermati ciri-ciri filsafat yaitu suatu cara berfikir yang cermat, teliti dan mendalam, maka filsafat juga sebagai pembimbing manusia untuk menemukan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang dihadapinya.
Filsafat pragmatisme berpendapat bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik, yang hanya dapat memenuhi tuntutan hidup manusia. Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Pragmatisme memandang kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Dengan demikian pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran.
Mencermati dari cara berpikir pragmatisme tersebut, maka ungkapan yang sering kita dengar dan juga kita ucapkan yaitu ”pragmatis”, ”berguna”, “silahkan lakukan yang memberi manfaat bagi kalian”, “jangan lakukan hal-hal yang tidak berguna” atau pertanyaan berupa “ada gunanya atau tidak kegiatan itu ?” adalah ungkapan yang didasari oleh cara berpikir filsafati yaitu filsafat pragmatisme. Jadi semakin jelas bahwa pola pikir filsafat pragmatisme telah mempengaruhi pola pikir yang kita lakukan sebagai manifestasi manusia yang membutuhkan sesuatu untuk kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA

Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 1996.

Mohammad Najib Abdullah. Pragmatisme : Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika. Universitas Sumatra Utara. 2004.

Muhammad Shiddiq Al Jawi. Dekonstruksi Pragmatisme. Makalah disampaikan dalam Halaqah Syahriyah Hizbut Tahrir. Bogor. 1995.

Surajiyo, Drs. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Palembang, 2007.

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME............................................................... 1
A.            Pendahuluan................................................................................................. 1
B.            Filsafat Pragmatisme..................................................................................... 1
1.      Filsafat.................................................................................................... 1
2.      Filsafat Pragmatisme............................................................................... 3
C.            Penutup......................................................................................................... 9

ii
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar