Minggu, 10 Juli 2011

DEHUMANISASI PENDIDIKAN


DEHUMANISASI PENDIDIKAN

               Rahmat Sahid  ( Pasca UMS 2011)                            




       I.            PENDAHULUAN
Banyak kritik disampaikan para cendekiawan dan praktisi kepada pemerintah terkait pendidikan di negara tercinta ini. Tujuan utama dalam hal ini adalah ingin meningkatkan kesadaran kita akan arah dan roh pendidikan yang kita laksanakan selama ini belum sesuai dengan hakekat tujuan pendidikan yang sebenarnya yaitu harus  mengedepankan upaya memposisikan manusia sebagai manusia.
Pendidikan dimaknai sebagai upaya sadar untuk mengembangkan manusia sesuai dengan kecerdasannya, atau sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Hal itu sesuai dengan empat pilar pendidikan menurut UNESCO, yakni (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning live together. Dengan demikian, maka pendidikan akan menjadikan manusia untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan, memiliki keterampilan, menjadi dirinya sendiri sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta dapat hidup bersama dengan sesamanya. Manusia tidak akan dapat menjadi manusia seutuhnya, jika tidak melalui proses pendidikan oleh manusia, dengan cara manusia, dan dalam suasana kemanusiaan. Pendidikan harus difikirkan sebagai proses penyesuaian timbal balik manusia dengan alam, dengan manusia lain, dan akhirnya terhadap alam raya ini (Brubacher). Mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas segala tindakannya menurut pilihannya sendiri.(M.J. Langeveld).Oleh karena itu proses pendidikan tidak boleh tidak harus berlangsung secara manusiawi dengan proses yang memanusiakan (humanisasi), dan bukan sebaliknya, yakni dehumanisasi.                
Banyak praktik  pendidikan yang selama ini kita laksanakan secara sengaja atau tidak, langsung atau tidak, justru menyimpang dari proses humanisasi. Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia.  Dehumanisasi pendidikan  dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah, oleh pelaku pendidikan atau guru, oleh masyarakat atau orang tua. Dehumanisasi pendidikan  juga bisa berlangsung dengan aturan pendidikan itu sendiri, dan pengaruh budaya lingkungan yang ada.


                  II.            PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan dibahas dehumanisasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah, oleh guru dan oleh lingkungan masyarakat                  


                  
      III.            PEMBAHASAN

Darmaningtyas, tokoh vokal yang kini menjadi pengurus Majelis Luhur Taman Siswa memberi gambaran persoalan pendidikan dasar di Indonesia. Ia membedakan dalam 3 permasalahan, yakni: 1) Makro, meliputi persoalan filosofis, ideologi dan budaya; 2) Meso (tengah), yang meliputi masalah kebijakan, politik pendidikan dan otonomi daerah; serta 3) Mikro, yang mencakup angka partisipasi pendidikan, angka DO, kelulusan, gedung, prasarana dan sarana. Semua bicara pendidikan. Semua bicara solusi. Darmaningtyas memberi wacana yang sarat politik: ”Utang dan korupsi, racun pendidikan”. Ya, akar masalah yang makin memberatkan makro, meso dan mikro adalah ketidakefisienan dan kebocoran anggaran alias korupsi.

A.    Dehumanisasi Pendidikan oleh Pemerintah.
Pendidikan sebagai sarana membentuk karakter bangsa sudah semestinya mampu menjadi ruang untuk melahirkan intelektual yang nantinya bisa menopang keberlangsungan perjalanan bangsa yang bersandar pada kesejahteraan rakyat, esensi pendidikan tersebut sepertinya telah jauh dari harapan yang ada. Dalam era reformasi sekarang ini, kritik terhadap kebijakan memang perlu diberikan. Kebijakan pendidikan yang terindikasi mengandung isu ketidakadilan dan dehumanisasi memang perlu dicermati. Tetapi, terlalu buru-buru memberikan penilaian bahwa suatu kebijakan itu bersifat tidak adil dan dehumanisasi, sudah barang tentu juga tidak bijak. Dehumanisasi pendidikan memang perlu dihindari, karena hakikat dasar pendidikan adalah proses humanisasi pendidikan.

1.      Kontroversi Ujuan Nasional
Pemberlakukan UN dengan standar pencapaian nilai minimum yang akan menentukan vonis lulus tidaknya peserta didik tanpa menghiraukan penyebab dibalik ketidaklulusan peserta didik, sama halnya dengan memperlakukan peserta didik sebagai benda mati. Keunikan setiap individu peserta didik sebagai manusia telah diabaikan mentah-mentah dengan logika pembendaan tersebut. Inilah yang dimaksudkan dengan proses dehumanisasi peserta didik.
Penyelenggaraan UN juga telah melecehkan kemerdekaan pendidik dalam berpikir dan berbuat. Pemerintah hanya seolah-olah saja berusaha menyenangkan hati para pendidik dengan pemberlakuan KTSP yang pada prinsipnya membebaskan pendidik dan satuan pendidikan dalam penerapan kurikulum sesuai dengan keunikan potensi sekolah dan daerah masing-masing. Pasalnya, meskipun KTSP telah ditetapkan pemberlakuannya, pemerintah masih saja ingin menilai keberhasilan pencapaian kompetensi peserta didik dengan UN yang jelas-jelas tidak saling bersinergi. Sebab, apa yang telah dipelajari oleh peserta didik yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya jelas-jelas berbeda karena penerapan KTSP antara masing-masing sekolah tentunya juga berbeda. Pada akhirnya, pendidik lah yang harus mengalah dengan mengikuti kemauan pemerintah yang telah menetapkan standar-standar tertentu atas pencapaian hasil belajar peserta didik melalui UN, jika mereka tidak ingin mendapatkan berbagai hukuman seperti vonis ‘tidak lulus’ maupun ‘sekolah tidak favorit’.
Penilaian pencapaian kompetensi peserta didik melalui UN adalah praktek pengabaian kecerdasan afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh peserta didik. UN jelas-jelas bertentangan dengan konsep kompetensi lulusan yang mencakup unsur afektif dan psikomotorik, selain unsur kognitif dalam konstitusi. Padahal menurut Bloom, fungsi dari masing-masing aspek kecerdasan tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Bila seorang peserta didik yang tidak lulus UN dianggap ‘tidak cerdas’ secara kognitif, maka hal tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap keutuhan kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh manusia.
Pendidikan sebenarnya terjadi sepanjang hayat dan ‘kehidupanlah’ yang berhak menilai seorang individu, lain halnya dengan persekolahan yang hanya sebagian kecil dari proses pendidikan, dan dijalani peserta didik dalam kurun waktu yang terbatas. Education is not schooling, sehingga penyamaan makna pendidikan dengan persekolahan akan membuat makna pendidikan tereduksi menjadi sangat sempit.  

2.      Pengelompokan Akademis
Kebijakan dan praktek pengelompokan anak berdasarkan kemampuan akademis (ability grouping) baik di dalam kelas, sekolah, maupun antar sekolah merupakan salah satu topik penelitian dan perbincangan yang kontroversial di kalangan para pendidik.  Banyak kritik  praktek pembagian siswa berdasarkan kemampuan akademis dengan beberapa alasan.  Pertama, kriteria yang biasanya digunakan untuk membagi siswa seringkali merupakan persepsi subyektif dan pemahaman yang sempit mengenai konsep kecerdasan anak.  Kedua, pengelompokan akan menimbulkan pelabelan anak (pintar, bodoh, cepat, lamban) dan kerancuan antara konsep kecepatan belajar dengan kapasitas belajar.  Ketiga, penempatan anak pada kelompok atau jalur yang berbeda akan mengarah pada harapan, target, dan ekspektasi yang berbeda pula terhadap anak padahal ada penelitian yang mendukung bahwa motivasi dan hasil belajar anak terkait secara positif dengan ekspektasi guru dan mitra belajarnya.  Sekali anak dimasukkan dalam satu kelompok tertentu, kemungkinan sangat besar anak tersebut akan tetap tinggal di kelompok itu sampai akhir masa sekolahnya.  Vonis mengenai kemampuan anak pada masa pendidikan sama dengan ramalan yang akan menjadi kenyataan. 
3.      Pengelompokan Sosio-Ekonomis
Pembagian jalur yang  dilakukan berdasarkan kemampuan finansial anak, membawa dampak amat serius dan membawa berbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat.  Anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan yang homogen.   Anak-anak dari keluarga mampu akan berinteraksi dengan anak-anak lain yang setara secara sosio-ekonomis dan demikian pula dengan anak-anak miskin.  Padahal seharusnya anak-anak dari berbagai latar belakang sosio-ekonomis bisa saling berinteraksi dan memperkaya dengan pengalaman hidup mereka masing-masing.  Sempitnya lingkungan belajar selama masa sekolah akan membuat anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan empati dan solidaritas terhadap orang lain yang berbeda.  Anak perlu belajar mengembangkan kemauan dan kemampuan untuk mengenal dan menghargai manusia lain sebagai seorang individu yang utuh dan bukannya sebagai anggota suatu kelompok yang asing dan mengancam.
Realita di masyarakat saat ini, terutama di kota-kota besar, memang sudah menunjukkan pemisahan warga masyarakat berdasarkan kelas seperti yang terlihat di lingkungan pemukiman, pusat perbelanjaan, sekolah, tempat rekreasi, dan bahkan tempat ibadah.  Yang seharusnya dilakukan oleh para pembuat kebijakan pendidikan adalah mendesain model pendidikan yang bisa menyiapkan anak-anak agar nantinya mereka bisa menjadi agen perubahan dan mendobrak berbagai sekat dalam masyarakat.
Di balik segala keteraturan dalam masyarakat Brave New World seperti yang dijanjikan dalam jargon mereka Komunitas, Identitas, dan Stabilitas, ada proses dehumanisasi manusia.  Pembagian anak ke dalam jalur pendidikan formal standar atau mandiri di Indonesia juga akan menghasilkan komunitas anak bangsa yang tersekat-sekat, identitas sebagai hasil dari proses yang diskriminatif, dan stabilitas yang hanya menguntungkan penguasa.  Di balik segala tatanan yang nampaknya teratur itu muncul suatu kegamangan karena segala upaya pengelompokan dan pengkondisian manusia sesuai label yang diciptakan penguasa telah mencerabut kebebasan manusia untuk menjadi dirinya sendiri dan mencapai yang terbaik yang dia bisa.
Kondisi seperti inilah yang semakin membuat rakyat miskin sulit dan terjepit untuk memikirkan pendidikan anak-anaknya. Boro-boro memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya untuk hidup sehari-hari saja sudah megap-megap. Tetapi kenyataannya biaya pendidikan tidak mengalami perubahan bahkan semakin membuat sesak dada. Jika sudah demikian siapa yang menjadi korban? Tentunya masyarakat kelas bawah yang mempunyai penghasilan pas-pasan. Memang sungguh tragis nasib orang miskin.
Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Di mana Anak Miskin Bersekolah?, secara “nakal” Darmaningtyas, pengamat pendidikan mengkategorikan empat golongan yaitu pertama anak kaya dan pintar, kedua, anak pintar tapi miskin, ketiga, anak bodoh tapi kaya, dan yang keempat anak miskin dan bodoh (Kompas, 19/07/04). Dari keempat kategori ini, anak bodoh dan miskin akan mengalami nasib yang tidak beruntung karena mereka akan mendapat sekolah swasta yang tidak bermutu atau pinggiran yang minim sarana dan prasarana, mutu jelek, disiplin rendah dan biaya tinggi karena ditanggung sepenuhnya oleh murid. Masyarakat miskin dan bodoh itu harus menanggung penuh pembiayaan sekolah karena sekolah-sekolah itu tidak mendapat subsidi pemerintah. Kalau pun dapat hanya kecil dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri atau sekolah yang sudah mapan. Ini suatu ironi dalam kebijakan pendidikan nasional yang miskin membayar lebih banyak untuk mendapatkan yang sedikit, sedangkan yang kaya membayar sedikit untuk mendapatkan yang banyak.

4.      Korban  politik
Pendidikan memang sasaran empuk dikomoditaskan secara politik. Ketika musim kampanye isu pendidikan dijadikan bahan penarik simpati. Pendidikan gratis atau murah kerap diwacanakan namun tidak pernah menjadi kenyataan. Selalu ada cara membebani peserta didik dan orang tuanya dengan aneka pungutan, karena baik negeri dan swasta sudah terbangun image pendidikan yang bagus adalah yang mahal.
Peserta didik telah menjadi obyek demi kepentingan ideologi, politik, industri dan bisnis. Salah satu contoh paling nyata adalah asumsi bahwa apa yang diajarkan jauh lebih penting dari siapa yang diajar. Prestasi guru juga diukur dari nilai yang didapat peserta didiknya. Guru sebagai pendidik tidak mampu menghentikan dehumanisasi ini karena guru sendiri terjebak sebagai obyek dalam sistem pendidikan nasional.
Dilain pihak (interelasi antara teori dan praktek) pendidikan masa orde baru masih menyisahkan persoalan filosofis yang amat mendasar karena kebijakan orde baru yang menempatkan pendidikan untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan yang akhirnya terabaikannya perkembangan manusia sebagai individu yang bebas. Citra diri manusia sebagai individu, lebur kedalam sistem politik yang sentralistik, hegemonik dan totalitarian. Faktor lain yang turut menghambat proses pendidikan adalah ketersediaan fasilitas seperti ruang kelas, kinerja guru, kinerja subjek didik, buku, laboratorium, tempat praktek, manajemen sekolah, kurikulum sekolah, partisipasi orang tua, pertisipasi masyarakat, praksisi pendidikan dikeluarga, pendidikan guru dan lain-lain. Permasalahan dalam dunia pendidikan seperti ini tentunya menyeret opini publik akan kinerja pengelola pendidikan dinegeri yang multi krisis ini. Sangat wajar jika banyak kalangan menilai bahwa pendidikan tak berubah dan masih seperti kekuasaan yang bisa dipermainkan kapan saja dan dimana saja sehingga membuat mandul dan kurang produktif dalam membuat dan mengeluarkan ide-ide pembaharuan pendidikan yang lebih dinamis. Seperti bandul, pendidikan nasional terus terombang ambing dalam kebijakan dan praktik politis pendidikan yang tidak jelas dari pendidikan itu sendiri. Padahal, menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa maksud dari pendidikan ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

B.     Dehumanisasi Pendidikan yang dilakukan  Guru.
1.      Guru kasar dalam kelas.
Potret yang paling telanjang para guru tengah mengalami belenggu kemiskinan, finansial, intelektual, emosional, kultural dan spiritual (Anita Lie, 2008). Akibatnya, semakin menjadi kebiasaan guru yang bekerja sampingan sehingga tugas utamanya sebagai pendidik terlupakan, jarang membaca dan belajar, karena terbebani urusan administrasi, cenderung berlaku kasar dan mengumpat, dan pada akhirnya kehilangan identitas dan integritas. Makin jarang dijumpai guru yang mengajar dengan cinta kasih. Guru yang memberikan sepenuh waktu dan hidupnya untuk kesejahteraan hidup peserta didiknya. Guru yang merasa gembira ketika peserta didiknya berhasil dan guru yang merasa bersedih ketika menyaksikan peserta didiknya gagal dalam mencapai tujuan dan cita-citanya. Guru-guru yang demikian hanya akan lahir dalam suasana pembentukan yang memang mengedepankan aspek pemanusiaan dan pembudayaan.
Karena itu mesti dicatat, pekerjaan sebagai guru tidak sama dengan bekerja di pabrik. Menjadi guru adalah membentuk manusia. Ia menggantikan peran orang tua yang menyerahkan seluruh tanggung jawab sosialnya kepada sekolah untuk dibentuk dan diarahkan. Ketika guru lupa menyadari tanggung jawab sosial nan berat ini dapat ditebak, arah pendidikan dan pembentukan kian samar-samar dan kabur.
Pekerjaan sebagai guru tak lagi sebuah panggilan. Padahal motivasi sosial inilah yang pertama-tama menggerakkan seseorang menjadi guru.
Proses pendidikan di dalam kelas tidak terjadi proses humanisasi, melainkan dehumanisasi. Anak dipandang sebagai botol kosong yang diisi dengan muatan yang sama. Proses pembelajaran tidak terjadi secara edukatif, tidak menyenangkan, dan kelas bahkan lebih cenderung sebagai penjara, tidak PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Pelecehan sekecil apapun atau hukuman yang berlebihan turut andil menabur benih kekerasan dalam diri generasi muda. Karena itu, tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan harus sesegera mungkin di tiadakan, agar lingkaran setan yang menjadi bencana dunia pendidikan dapat segera terputus. Oleh sebab itu, semua pihak, baik pengajar, masyarakat, siswa dan mahasiswa maupun lembaga pendidikan harus benar-benar memperhatikan hal ini. Kontrol dan perhatian semua elemen masyarakat terhadap kebijakan pendidikan dapat menjadi tameng untuk menekan tumbuhnya kekerasan dan pelecehan dalam proses pendidikan.
2.      Guru Otoriter
Sistem dengan gaya komando ini hanya akan mengakibatkan interaksi antara guru dengan murid bersifat otoriter, dan membatasi gerak dari anak didik karena adanya kesan bahwa murid harus selalu tunduk dan hak-hak mereka untuk membantah dalam hal yang positif atau bertanya secara kritis dibatasi. Menurut Romo Mangun semestinya pendidikan di sekolah harus terbuka dan menjadi peristiwa perjumpaan antarpribadi yang saling mengasihi dan sebagai ajang untuk menjalin kemitraan, bukan penjinakan terhadap mereka, dengan adanya interaksi yang baik maka akan menumbuhkan rasa persaudaraan yang menggembiraka.
Juga masih seringnya kita jumpai sistem hafalan yang sering didrill di sekolah. Sistem seperti ini dirasa kurang begitu pas karena anak didik tidak akan bisa mengembangkan kreativitas daya pikirnya sesuai pengalaman mereka sendiri dan ini akan menjadi hambatan bagi anak didik untuk mandiri. Sistem pendidikan yang seperti ini sudahkah memanusiakan anak didik? Bukankah sistem seperti ini hanya akan membuat anak didik kerdil dalam berkreasi dan jalan di tempat saja?


C.    Dehumanis Pendidikan oleh Lingkungan Masyarakat.
Pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa Ki Darmaningtyas menilai, terjadinya dehumanisasi pendidikan tidak lepas karena pengaruh lingkungan dari luar sekolah. ''Ini terjadi karena di sekolah waktunya terbatas, sementara di luar lebih banyak waktu dinikmati oleh pelajar. Karena itu, lingkungan masyarakat memainkan peranan, namun yang paling dominan adalah pengaruh media massa.
Selain melaui media massa , banyak tersaji perilaku masyarakat yang telanjang terlihat oleh anak- anak kita, dengan kecurangan dan jauh dari sifat mendidik, diantaranya :
1.    Saling salib dalam berkendara kendaraan bermotor tanpa menghiraukan aturan lalu lintas dengan benar.
2.    Budaya antri baik pelayanan umum atau penggunaan fasilitas umum sudah sangat mahal harganya, sehingga yang terjadi saling serobot dengan kepentingan pribadinya sendiri,
3.    Perilaku semau gue , cuek dan bangga atas perilaku yang jauh dari kesopanan dan kearifan sering terlihat pada perilaku hampir semua masyarakat.
4.    Perilaku curang dalam bekerja atau mencari nafkah baik yang berstatus abdi negara atau partikelir, bahkan menghalalkan budaya korupsi.
5.    Tidak malu berbuat salah, melanggar aturan atau  norma .
6.    Mudah marah dan menimbulkan keonaran, pertengkaran dengan sebab yang sepele.
7.    Mengagungkan materi, sehingga semua gerak harus diukur dengan keuntungan materi semata.
8.    Pelacuran yang sebenarnya, sampai pada pelacuran dalam kiasan yaitu pelacuran pendidikan, pelacuran politik dll.
Menurut Darmaningtyas, media massa, dalam hal ini televisi, justru memberikan inspirasi dan kesan yang mendalam pada pelajar dan mahasiswa, khususnya pada tayangan yang berbau seksual dan kekerasan. Sebab itu lanjutnya, tak mengherankan pula, jika akhir-akhir ini, banyak siswa dan mahasiswa yang terjebak dalam kekerasan, juga terjebak dalam degradasi moral, baik di sekolah maupun di luar sekolah,'' ujarnya. Tak aneh ketika buahnya adalah kekerasan dalam pendidikan yang kian merebak. Peserta didik lebih mendengarkan nasihat televisi, film kartun ketimbang nasihat para gurunya. Bunuh diri, kekerasan guru dan peserta didik, antar peserta didik menjadi ulasan media yang terus-menerus terjadi.





IV.            KESIMPULAN

1.      Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia.
2.      Dehumanisasi pendidikan  dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah, oleh pelaku pendidikan atau guru, oleh masyarakat atau orang tua. Dehumanisasi pendidikan  juga bisa berlangsung dengan aturan pendidikan itu sendiri, dan pengaruh budaya lingkungan yang ada.
3.      Dehumanisasi pendidikan dapat berupa :
a)      Pelaksanaan Ujian nasional bagi siswa .
b)      Pengelompokan siswa berdasar kekuatan dan kemampuan akademik.
c)      Pengelompokan siswa berdasar kekuatan dan kemampuan ekonomi.
d)     Pendidikan terkontaminasi politik penguasa.
e)      Guru kasar dalam kelas.
f)       Guru otoriter
g)      Perilaku masyarakat yang jauh dari nilai pendidikan anak.
h)      Media massa yang menyajikan segala bentuk tayangan negatif bagi anak.
4.      Para pengajar diharapkan untuk kembali pada hakikat pendidikan dan tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari tujuan pendidikan. Sehingga, sekolah dan kampus dapat menjadi tempat yang berfungsi sebagaimana mestinya, yakni pencetak sumber daya manusia yang berkualitas sebagai calon pemimpin bangsa, tanpa kekerasan dan pelecehan.
5.      Pekerjaan sebagai guru tidak sama dengan bekerja di pabrik. Menjadi guru adalah membentuk manusia. Ia menggantikan peran orang tua yang menyerahkan seluruh tanggung jawab sosialnya kepada sekolah untuk dibentuk dan diarahkan. Ketika guru lupa menyadari tanggung jawab sosial nan berat ini dapat ditebak, arah pendidikan dan pembentukan kian samar-samar dan kabur.



Daftar Pustaka


1.      Anita Lie, Dehumanisasi Pendidikan :sebuah artikel.
2.      Anonim, 2006. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. WIPRESS
3.      Anonim, 2006. Rencana Startegis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
4.      http/www.satriadharma.wordpress.com
5.      H Widyo Hari Cahyono, Sudahkah Pendidikan Kita Memerdekakan dan Memanusiakan: wacanaislam.blogspot.com
6.      Ki Darmaningtyas, Dampak Dehumanisasi Pendidikan makin meluas :sebuah artikel.
7.      Media Indonesia  “  Pendidikan jadi lahan bisnis “ 20 Pebruari 2008
8.      Paulus Mujiran, KETIKA DEHUMANISASI PENDIDIKAN MENJADI KENDALA, sebuah artikel
9.      Suparlan : Dehumanisasi Pendidikan :sebuah artikel.













5 komentar:

  1. trims pencerahannya mas, apakah sistem pendidikan muhammadiyah dapat mengeliminasi fenemona ini

    BalasHapus
  2. Pendidikan di negara kita telah menyimpang dari esensinya. Bercampur aduknya kekuatan politik dan ekonomi memaksa dunia pendidikan untuk menyesuaikan dirinya dengan kekuatan tersebut. Seharusnya pendidikan itu netral, dunia pendidikan bukan ajang pendoktiran politik faham ataupun golongan, apalagi ajang mencari keuntungan dagang. Para peserta didik kita dikekang untuk tunduk dan patuh pada kurikulum yang sebenarnya tidak sesuai dengan jiwa kreatifitas dan imajinatif mereka. Pendidikan seyogyanya memfasilitasi hal tersebut bukannya malah mendikte hingga menjadi biang keladi anjloknya para generasi muda.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Tulisan yang sangat mencerahkan, mohon ijin untuk tulisan ini saya jadikan sebagai referensi dalam penulisan artikel saya.

    BalasHapus