Sabtu, 30 Juli 2011
Minggu, 24 Juli 2011
POKOK-PIKIRAN UU. NOMOR 12 TAHUN 1954
POKOK-POKOK PIKIRAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1954
(Rahmat Sahid, Pasca UMS 2011)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Para pejuang serta perintis kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan dan meningkatkan derajat kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Oleh karena itu, disamping memperjuangkan bangsa menuju kemerdekaan per1u dikembangkan sumber daya manusia melalui jalur lembaga-lembaga pendidikan.
Kurangnya sistem demokrasi yang dirasakan pada masa pemerintah kolonial karena bersifat diskriminatif dan diorientasikan untuk kepentingan pemerintah penjajahan, maka sistem pendidikan perlu dikembangkan untuk menjangkau kepentingan bangsa.
“Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau dengan cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”. ( UU No. 20 / 2003 )
Memperhatikan makna yang terkandung pada Undang-undang tersebut di atas, bahwa pendidikan memberikan peranan penting untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan secara khusus memberi kesempatan mengembangkan potensi diri untuk untuk kehidupan pribadi maupun kehidupan bangsa.
Dengan demikian, untuk mewujudkan derajat sumber daya manusia melalui pendidikan dan pengajaran diperlukan peraturan perundang-undangan yang melindungi dan mengatur terselenggaranya pendidikan dan pengajaran maka pada masa Orde Lama diterbitkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 50 atau Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah.
Untuk memperjelas pemahaman tentang pembahasan undang-undang tersebut, maka penjelasan diorientasikan pada tiga pokok pikiran, meliputi tujuan pendidikan dan pelajaran, bahasa pengantar di sekolah dan jenjang pendidikan.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan diatas, maka permasalahan yang akan diuraikan adalah :
1. Apa tujuan pendidikan dan pelajaran menurut UU No 12 Tahun 1954?
2. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran pada lembaga pendidikan menurut UU No 12 Tahun 1954?
3. Bagaimana jenjang pendidikan menurut UU No 12 Tahun 1954?
C.Tujuan
Tujuan penulisan dari makalah ini diantaranya : sebagai referensi kalangan pendidikan dalam merefleksikan sistem pendidikan di Indonesia yaitu :
1. mengetahui sitem pendidikan nasional pada era Orde Lama.
2. agar pembaca peduli terhadap pendidikan dan dapat menyumbangkan pemikiran-pemikiran positif dalam memecahkan permasalahan pendidikan, dan pengajaran.
II. PEMBAHASAN
A. Tujuan Pendidikan dan Pelajaran menurut UU No 12 Tahun 1954.
Sistem pendidikan nasional pada masa ini masih belum mencerminkan adanya kesatuan. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 hanya mengatur pendidikan dan pengajaran di sekolah, sementara penyelenggaraan pendidikan tinggi belum diatur. Undang-Undang yang mengatur penyelenggaraan Pendidikan Tinggi baru lahir pada tahun 1961 dengan disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1961 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi.
Berlakunya dua undang-undang dalam sistem pendidikan, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 dan Undang-undang No. 22 Tahun 1961 sering dipandang sebagai kendala yang cukup mendasar bagi pembangunan pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang tersebut, di samping tidak mencerminkan landasan kesatuan sistem pendidikan nasional, karena didasarkan pada Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat, juga tidak sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Pokok pikiran untuk membentuk karakter kebangsaan sebagai mana yang tertuang pada Bab III pasal 3, bahwa tujuan pendidikan dan pelajaran ialah membentuk manusia sosial yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Ungkapan yang tersirat pada isi undang-undang tersebut di atas, menyadari bahwa manusia sebagai makhluk sosial disadari hubungan antar manusia adalah penting terutama untuk mempertahankan kemerdekaan dari berbagai suku bangsa, yang ada di Indonesia yang bersifat majemuk dapat dipersatukan menjadi bangsa yang merdeka, bekerja sama satu sama lain dapat terjalin hubungan yang harmonis.
Bentuk kebhinekaan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sistem pemerintahan yang mendudukkan rakyat sebagai unsur utama dalam lembaga pemerintahan, maka pendidikan demokratis dikemas dan dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dan politik dapat memberikan kebebasan rakyat untuk beraspirasi positif terutama untuk membangun bangsa yang kuat serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa melalui jenjang pendidikan.
Dengan meningkatkan pendidikan sebagaimana yang tersirat pada pasal tersebut, bahwa melalui pendidikan bertujuan akan meningkatkan kesejahteraan bangsa. Tujuan dari meningkatkan kesejahteraan tidak luput dari peningkatan perekonomian negara yang berorientasi bahwa dengan pendidikan dapat meningkatkan sumberdaya dari potensi diri manusia Indonesia secara seimbang perekonomianpun meningkat.
B. Pelaksanaan Pembelajaran pada Lembaga Pendidikan menurut UU No 12 Tahun 1954.
Pada Bab IV pasal 5 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1954 memuat pernyataan : “ Bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah bahasa pengantar sekolah di seluruh Indonesia”. Pernyataan tersebut bertujuan untuk pemerataan pendidikan di Indonesia sekaligus memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa melalui pendidikan.
Wujud dari tujuan dalam sistem pendidikan dikembangkan pemerataan pendidikan terutama dengan pemerataan pengajaran dari daerah yang lebih maju disebar ke daerah yang belum maju atau ke pelosok, penempatan tenaga kerja ke luar daerah pada waktu itu menjadi orientasi yang memaknai pemerataan pendidikan.
Memperhatikan proses pemerataan pendidikan, maka untuk kelancaran proses ditetapkan bahasa persatuan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan sekaligus mewujudkan persatuan bangsa malalui bahasa.
Dengan demikian maka kelancaran proses pembelajaran perlu ditetapkan bahasa sebagai bahasa pemersatu dalam pendidikan dan terwujudnya pemerataan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954.
C. Jenjang Pendidikan menurut UU No 12 Tahun 1954.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 hanya mengatur pendidikan dan pengajaran di sekolah, sementara penyelenggaraan pendidikan tinggi belum diatur. Undang-Undang yang mengatur penyelenggaraan Pendidikan Tinggi baru lahir pada tahun 1961 dengan disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1961 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi.
Penyelenggaraan pendidikan yang diatur dengan dua undang-undang yang berlainan menyebabkan konsolidasi dalam perwujudan satu sistem pendidikan nasional – seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945 Pasal 31 Ayat (2) – belum terlaksana sepenuhnya. Sesuai dengan kedua undang-undang tersebut, persekolahan pada waktu itu memiliki penjenjangan berikut.
a) Pendidikan prasekolah yang disebut Taman Kanak-kanak.(TK) dengan lama belajar satu atau dua tahun. Berdasarkan undang-undang yang berlaku hanya diatur bahwa pendidikan taman kanak-kanak merupakan salah satu bentuk sekolah tetapi tidak diatur bahwa pendidikan prasekolah merupakan prasyarat untuk memasuki sekolah dasar.
b) Sekolah dasar (SD) dengan lama pendidikan enam tahun yang menampung murid-murid baik yang telah lulus maupun tidak lulus pendidikan taman kanak-kanak.
c) Sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) adalah pendidikan dengan lama belajar tiga tahun setelah lulus SD. Dalam undang-undang ini, pendidikan kejuruan mulai dilakukan pada tingkat SLTP. Pada waktu itu SLTP terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan umum yang diselenggarakan melalui sekolah menengah pertama (SMP) dan pendidikan kejuruan melalui sekolah menengah kejuruan tingkat pertama (SMKTP).
d) Sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) adalah pendidikan sekolah dengan lama belajar tiga atau empat tahun setelah SMP atau SMKTP. Undang-undang yang berlaku pada waktu itu sudah menganggap penting dikembangkannya pendidikan menengah kejuruan sehingga, di samping pendidikan menengah umum yang diselenggarakan di sekolah menengah atas (SMA) juga berkembang jenis-jenis sekolah menengah kejuruan tingkat atas (SMKTA).
e) Perguruan Tinggi (PT) adalah pendidikan dengan lama kuliah tiga sampai empat tahun untuk tingkat sarjana muda dan lima sampai tujuh tahun untuk tingkat sarjana yang ditempuh baik melalui universitas, institut, akademi, maupun sekolah tinggi.
f) Di lain pihak, pendidikan masyarakat juga merupakan bagian yang integral dalam sistem pendidikan nasional pada waktu itu. Pendidikan masyarakat atau pendidikan luar sekolah bertujuan untuk: pertama; memberikan pengetahuan dan keterampilan, termasuk kemampuan membaca, menulis dan berhitung kepada orang-orang dewasa yang buta huruf yang tidak berkesempatan bersekolah, kedua; membantu orang-orang dewasa yang sudah bekerja agar lebih produktif di dalam usaha-usahanya, dan ketiga; memperkecil jurang antara kemajuan di daerah perkotaan dengan kemajuan di daerah pedesaan.
Pada jenjang pendidikan rendah sifat pembelajaran dengan pendidikan dan pengajaran yang menjadi dasar untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan berikutnya. Pendidikan dasar dibedakan menjadi dua tingkatan kelembagaan yaitu Sekolah Dasar (Rakyat) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Pendidikan tingkat menengah (umum dan kejuruan) atau tingkat SLTA beroriantasi pada jalur melanjutkan ke pendidikan berikutnya ataupun jenjang persiapan kerja dengan bekal keterampilan sesuai dengan pengembangan potensi diri yang diharapkan.
Sedangkan pendidikan dan pengajaran tinggi diselenggarakan oleh lembaga perguruan tinggi dengan mengembangkan pengetahuan, penerapan dan pengamalan intelektual yang bermanfaat bagi masyarakat dan negara maupun untuk kepentingan diri.
III. Penutup
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 memiliki pikiran pokok:
1. Menitikberatkan pada pendidikan sosial, demokratis dan memupuk rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa.
2. Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan pengajaran sebagai bahasa pemersatu dalam pendidikan dan terwujudnya pemerataan pendidikan di seluruh wilayah Iindonesia serta untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Penetapan jenjang pendidikan di Indonesia.
B. Saran
Dari uraian pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 memiliki pikiran pokok:
1. Lembaga penyelengara pendidikan dapat menghasilkan tamatan dengan menguji penerapan secara riil sebagai tolok ukur keberhasilan.
2. Untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa bukan hanya sebagai bahasa pengantar tetapi juga diterapkan dalam pergaulan di lembaga pendidikan.
3. Lembaga pendidikan khususnya yang didirikan disamping memperhatikan kebutuhan juga memperhatikan jenjang yang dibuka.
DAFTAR PUSTAKA
Ø ——— Undang-undang Republik Indonesia, No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Repub1ik Indonesia, 1989.
Ø .——— Undang-undang Republik Indonesia,No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Pen. CV Aneka Ilmu, cet. 1 tahun 2003
Ø Ardhana, Wayan (1991). Kebijakan pemerintah dalam strategi pendidikan nasional. Makalah dalam Seminar Televisi Perididikan Indonesia di Surabaya, 23 Februari .
Ø Ardhana, Wayan (1990). Atribusi terhadap sebab-sebah keberhasi1an dan kegagalan, serta kaitannya dengan motivasi berprestasi, Pidato pengukuhan Guru Besar, IKIP Malang.
Ø Ardhana, Wayan (1990). Hakikat kewajiban belajar dalam menyongsong rintisan kewajiban belajar SLTP, naskah tidak dipublikasikan.
Ø Bebby, C.E. (1982). Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan pedoman perencanaan, LP3ES, Jakarta.
Ø Clifford, Margaret M. { 1990 ). Students need challenge, not easy success, Educational Leadership, 48 (1), 22 - 34.
Ø Cummings, William K. ( 1980 ). Education and equality in Japan, Princeton University Press, Princeton, New Jersey.
Ø Dweck, Carol S. (1986). Motivational processes affecting learning, American Psychologist, 41(10), 1040-1048.
Ø Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
Ø Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta
Pendidikan Budi Pekerti
Pendidikan Berbudi Pekerti
(Rahmat Sahid, Pasca UMS.2011)
A. Nilai Budi Pekerti
Dewasa ini, terutama di kota- kota besar terdapat perilaku menyimpang atau amoral, asusila seperti perkelahian masal,tawuran siswa, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, pelanggaran tata tertib dan lain-lain. Untuk menangkal atau mencegahnya dipelukan pendidikan yang benar, termasuk pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti dilaksanakan terintegrasi untuk pembentukan watak kepribadian pesrta didik yang utuh tercermin pada perilaku berupa ucapan,perbuatan sikap, pikiran perasaan, kerja dan hasil karya yang baik. Realisasi pendidikan budi pekerti perlu diwujudkan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara terpadu.
Budi pekerti berisi nilai nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui ukuran norma agama,, norma hukum, tata karma dan sopan santun, norma budaya atau adat istiadat masyarakat. Pendidikan budi pekerti adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur, dalam segenap perananya sekarang dan yang akan datang agar mampu melaksanakan tugas-tugas hidup secara selaras selaras ,serasi dan seimbang melalui kegiatan bimbingan,pembiasaan, pengajaran, pelatihan dan keteladanan.
Pendidikan budi pekerti diberikan kepada siswa dengan tujuan meliputi:
1. Mendorong kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji sejalan dengan nilai nilai universaldan tradisi bangsa yang religius.
2. Menanamkan jiwa kepemimpinandan tanggung jawab peserta didik sebagi penerus bangsa.
3. Memupuk ketegaran dan kepekaan mentapeserta didik terhadap situasi sekitarnyasehingga tidak terjerumus dalam perilaku yang menyimpang baik secara individu maupun kelompok.
4. Meningkatkan kemampuan untuk menghindarisifat-sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri,orang lain dan lingkungan.
Nilai budi pekerti yang harus dimiliki siswa adalah :
1. Meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esadan selalu menaati ajaranNya.
2. Menaati ajaran agamanya.
3. Memiliki dan mengembangkan sikap toleransi.
4. Memilki raa menghargai diri sendiri.
5. Tumbuhnya rasa disiplin diri.
6. Mengembangkan etos kerja / belajar.
7. Memiliki rasa tanggung jawab.
8. Memiliki rasa keterbukaan.
9. Mampu mengembangkan diri.
10. Mampu berfikir positif.
11. Mengembangkan potensi diri.
12. Menumbuhkan cinta dan kasih sayang.
13. Memliki rasa kebersamaan dan gotong royong.
14. Memiliki rasa kesetiakawanan .
15. Saling menghormati
16. Memiliki tata karma dan sopan santun.
17. Memiliki rasa malu.
18. Menumbuhkan kejujuran.
Adapun fungsi pendidikan budi pekerti meliputi:
1. Pengembangan yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik bagi pesertadidik yang telah tertanam dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
2. Penyaluran, yaitu untuk membantu peserta didik yang memiliki bakat tertentu agar dapatberkembang dan bermanfaaat secaraoptimalsesuai dengan budaya bangsa.
3. Perbaikan, yaitu untk memperbaiki kesalahan , kekurangan dan kelemahan peserta didik dalm perilaku sehari-hari.
4. Pencegahan, yaitu unt mencegah perilaku negatif yang tidak sesuai dengan ajaran agamadan budaya bangsa.
5. Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri daripenyakit hati,seperti sombong, egois,iri, dngki dan ria agar anak didik tumbuh dan berkembang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
6. Penyaring, yaitu, untu menyaring budaya budaya bangsa sendiri dan bangsa lain yang tidak sesuai dengannilai nilai budi pekerti.
B. Guru Pembentuk Budi Pekerti
Apapun dan bagaimanapun sistem pendidikannya, guru menjadi komponen dan faktor yang paling utama dalam proses pedidikan dan pembentukan kepribadian dan budi pekerti siswa . Banyak permasalahan yang melingkup dalam diri guru sehingga mempengaruhi kualitas guru. Beberapa diantaranya adalah kondisi social ekonomi, pengaruh budaya cultural guru yang masih termarjinalkan dan belum mendapat penghormatan yang selayaknya, kualitas pendidikan yang heterogen dan cenderung rendah, penguasaan iptek yang rendah akibat daya dukung yang minim, kesadaran akan pentingnya daya saing dan budaya maju yang rendah, budaya inovasi, kreasi yang rendah, permasalahan perlindungan guru yang belum memadai, serta permasalah psikologis masing masing individu. Dari semua permasalahan tersebut, menjadi perhatian serius kepada semau komponen .
Untuk menjadi guru yang sesungguhnya sesuai dengan tugas, fungsi dan martabatnya , maka harus memiliki ciri-ciri kepribadian guru yang baik yaitu :
1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Berakhlak mulia yang tinggi
3. Memiliki rasa kebangsaan yang tinggi
4. Jujur dalam berkata dan bertindak
5. Sabar dalam menjalankan profesi
6. Disiplin dan kerja keras
7. Cinta terhadap profesi
8. Memiliki pandangan yang positif terhadap peserta didik’
9. Inovatif, kreatif dan memiliki rasa ingi tahu yang tinggi.
10. Gemar membacadan selalu ingin maju
11. Demokratis
12. Bekerjasama secara profesional dengan peserta didik, sejawat dan masyarakat.
13. Terbuka terhadap saran dan kritik
14. Memiliki wawasan internasional.
Untuk menjadi guru yang ideal dan professional, Isjoni (2005) memberi syarat sebagai berikut :
1. Planner . Artinya guru memiliki program kerja yang jelas, tidak sekedar rutinitas.
2. Inovator. Guru harus memiliki kemampuan untuk melakukan pembaharuan yang berkenaan dengan pola pembelajaran termasuk di dalamnya metode, media system evaluasi pembelajaran.
3. Motivator. Guru mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar.
4. Capable personal . Guruharus memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantapdan memadai.
5. Developer. Guru harus mau dan dan terus mengembangkan diriserta menularkan kemampuan, ketrampilannya kepada siswanya.
Sabtu, 16 Juli 2011
Kamis, 14 Juli 2011
Optimalisasi Peran Pemerintah Terhadap Eksistensi Madrasah Diniyah
Optimalisasi Peran Pemerintah
Terhadap Eksistensi Madrasah Diniyah
(Rahmat Sahid, Pasca UMS.2011)
Ketentuan dalam pasal 1 UU no. 20 TAHUN 2003 menyatakan bahwa Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dalam hal penyelenggaraan pendidikan yang berdasarkan kekhasan agama , masyarakat telah berperan aktif dengan munculnya pendidikan kekhususan seperti madrasah diniyah. Madrasah diniyah merupakan bagian dari pendidikan pesantren pada umumnya, yang mengikuti jalur pendidikan nonformal.
Pasal 26 ayat (1) UU no. 20 TAHUN 2003 dinyatakan bahwa Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Menurut ketentuan tersebut, maka keberadaan pesantren dan khususnya madrasah diniyah tidak dapat dinafikan begitu saja. Madrasah Diniyah sebagai pelengkap dan penambah pendidikan formal yang ada. Justru dengan ketentuan tersebut, menjadikan gerak penyelenggaraan madrasah diniyah menjadi diakui, selakigus dibutuhkan dalam dunia pendidikan pada umumnya.
Pemerintah secara jelas telah mengakomodasi keberadaan Madrasah Diniyah sebagai lembaga pendidikan seperti yang tertuang dalam ketentuan pasal 30 ayat (4) UU no. 20 tahun 2003 yang berbunyi “Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis”.
Fenomena menarik pada dunia pendidikan saat ini, dengan munculnya pesantren dan madrasah. Pertumbuhan madrasah dan khususnya madrasah diniyah mengalami perkembangan pesat. Survey tahun 1999 telah berdiri berkisar 22.000 Madrasah Diniyah buah Di sini lah masyarakat dan khususnya orang tua menggantungkan harapan untuk kelengkapan pendidikan yang utuh bagi putra-putrinya karena merasa belum lengkap dengan pendidikan formal.
Dengan kenyataan yang demikian menjadikan pemerintah sadar akan keberadaan Madrasah Diniyah, dan terus berupaya memberikan dorongan, bantuan demi eksistensi dan kemajuannya. Upaya pemerintah untuk melaksanakan hal tersebut dengan cara :
1. Menerbitkan Keputusan Menteri Agama no. I tahun 1946 tentang pemberian bantuan pemerintah kepada Madrasah Diniyah.
2. Mendirikan Lembaga Pendidikan Guru Agama pertama kali di Solo tahun 1951.
3. Menerbitkan Peraturan Menteri Agama no. 3 tahun 1983 tentang Kurikulum Madrasah Diniyah.
4. Diakuinya Madrasah Diniyah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional seperti dalam ketentuan GBHN tahun 1999.
5. Keluarnya SKB dua Menteri ( Menag. Dan Mendiknas. ) no. 1/U/ KB/2000 dan no. MA/86/2000 tentang pesantren salafiyah sebagai Pola Wajar Dikdas 9 tahun.
6. Diakuinya Madrasah Diniyah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional seperti dalam ketentuan UU no. 20 TAHUN 2003 pasal 30 ayat (4) yang berbunyi “Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis”.
7. Pemberian hak konsultatif kepada pesantren lewat Depag. atau Depdiknas.
8. Pemberian bantuan bentuk natura seperti guru yang diperbantukan , pelatihan guru/ kepala yayasan.
9. Pemberian bantuan fasilitas lahan pendirian yayasan dari pemerintah daerah bagi yang membutuhkan.
10. Pemberian bantuan sarana prasarana kegiatan belajar pesantren seperti buku, alat peraga dan fasilitas lain.
11. Membantu pengembangan pesantren lewat kerjasama pemerintah dengan IDB ( Islamic Development Bank )
12. Pemberian bantuan pendanaan lewat Dana BOS, Beasiswa prestasi , Beasiswa miskin, BKM, BKS, dll.
13. Pemberian bantuan berupa Panduan pengelolaan pesantren dan madrasah diniyah yang efektif.
14. Pemberian bantuan pedoman penyelenggaraan manajerial pesantren dan madrasah diniyah yang efektif.
Untuk dapat mensinergikan penyelenggaraan pendidikan dalam pesantren dan Madrasah Diniyah, maka harus ada keseimbangan antara pola dan tipe serta kekhasan Madrasah Diniyah tersebut dengan bantuan pemerintah yang ada. Untuk itu diperlukan beberapa langkah yang harus ditempuh oleh Madrasah Diniyah untuk dapat mencapai kemajuan. Cara yang harus ditempuh adalah :
a. Mereformasi metodologi sistem belajar mengajar di pesantren.
b. Meningkatkan dedikasi sosial dalam interaksi sosial yang bertanggung jawab tentang kehidupan bermasyarakat.
c. Meningkatkan transparansi dan keterbukaan antara kiai dan santri.
d. Memunculkan keberanian menegakkan otonomi pendidikan pesantren
e. Meningkatkan kualivikasi kiai yang menjadi target pesantren itu sendiri.
f. Menargetkan sistem alternatif seperti Pendidikan Tinggi Pesantren sesuai standart.
g. Proaktif merekonstruksi eksistensi diri.
Pemahaman dan Permasalahan Madrasah Diniyah
Pemahaman dan Permasalahan Madrasah Diniyah
(Rahmat Sahid, Pasca UMS,2011)
Madrasah Diniyah merupakan lembaga pendidikan Islam untuk mempelajari dan mempraktekkan pengamalan ajaran Islam. Lembaga ini tumbuh dan berkembang seiring perkembangan Islam di tanah air. Dalam sejarahnyanya dahulu disebut beberapa nama seperti pengajian anak-anak, sekolah kitab, sekolah agama dan lain lain.
Sekarang ini penyelenggaraan madrasah diniyah dengan pola klasikal dan berjenjang dengan tingkatan madrasah diniyah awaliyah, madrasah diniyah wustha dan madrasah diniyah ulya. Titik berat materi pembelajaran tetap menekankan pada pemahaman, penghayatan dan praktek pengamalan ajaran Islam. Dalam perkembangannya madrasah diniyah dapat berbentuk TPA ( Taman Pendidikan Al-Qur”an ) Majelis Ta”lim, Kursus Agama, Pendalaman dan Pendidikan Agama, Studi Islam Intensif dan lain-lain.
A. Pengertian, Tujuan, Fungsi dan Bentuk serta tingkatan Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah adalah satuan pendidikan keagamaan luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam, baik yang teroprganisisr secara klasikal,rombongan belajar, maupun dalam bentuk pengajian anak, majelis taklim, kursus agama dan sejenisnya.
Tujuan pendidikan Madrasah Diniyah adalah untuk :
1. Memberikan bekal kemampuan dasar kepada warga belajar untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi muslim yang beriman,dan bertaqwa serta berakhlak mulia, sebagai warga Negara Indonesia yang berkepribadian, percaya diri sendiri, serta sehat jasmani dan rohaninya.
2. Membina warga belajar agar memiliki pengalaman, pengetahuan ketrampilan beribadah dan sikap terpuji yang berguna bagi pengembangan pribadinya.
3. Mempersiapkan warga belajar untuk dapat mengikuti pendidikan lanjutan pada madrasah diniyah.
Madrasah Diniyah memiliki fungsi :
1. Menyelenggarakan pengembangan kemampuan dasar pendidikan agama Islam yang meliputi Al-Qur”an, Hadits, Aqidah Akhlak,Ibadah, Sejarahkebudayaan Islam dan Bahasa Arab.
2. Memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama Islam bagi warga belajar yang memerlukannya.
3. Memberikan bimbingan dalam pelaksanaan pengamalan ajaran Islam.
4. Membina hubungan kerjasama dengan orang tua warga belajar dan masyarakat.
5. Melaksanakan tata usaha dan rumah tangga pendidikan serta perpustakaan.
Adapun bentuk-bentuk Madrasah Diniyah adalah :
1. Pengajian Anak atau remaja
2. Studi Islam atau kursus Agama.
3. Bentuk lain yang berkembang seperti TPA, Sekolah Sore, Islamic Study Club, Pengajian Islam, Studi Islam Intensif , dll.
Madrasah Diniyah memiliki tingkatan :
1. Madrasah Diniyah Awaliyah.
Yaitu satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarkan pendidikan agama Islan tingkat dasar ,dengan masa belajar 4 tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu.
2. Madrasah Diniyah Wustha..
Yaitu satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarkan pendidikan agama Islam tingkat menengah pertama sebagai pengembangan yang diperoleh pada madrasah diniyah awaliyah dengan masa belajar 2 tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu.
3. Madrasah Diniyah Ulya..
Yaitu satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarkan pendidikan agama Islam tingkat menengah atas sebagai pengembangan yang diperoleh pada madrasah diniyah wustha dengan masa belajar 2 tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu
B. Permasalahan Madrasah Diniyah
Meski pesantren dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous dan memiliki andil besar dalam perkembangan pendidikan nasional, namun pesantren kurang mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah. Sejak tahun 1970, perkembangan pesantren dalam hal ini termasuk pada madrasah diniyah mengalami perkembangan pesat. Data Departemen Agama memperlihatkan :
No. | Tahun | Jumlah pesantren | Jumlah santri |
1 | 1977 | 4.195 | 677.384 |
2 | 1981 | 5.661 | 938.397 |
3 | 1985 | 6.239 | 1.084.801 |
4 | 1997 | 9.388 | 1.770.768 |
5 | 2001 | 11.312 | 2.737.805 |
Dengan data tersebut terdapat varian bentuk pendidikan sebagai berikut :
1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional ( SD / MI , SM / MTs, SMA / MA, PT Agama Islam PT Umum )
2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional .
3. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah ( MD )
4. Pesantren yang masih mempertahankan ciri khas ketradisionalan tanpa kurikulum standar dan sistem klasikal.
Walaupun dalam perkembangannya mengalami lompatan yang jauh, serta peran sertanya dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional secara umum sangat dibutuhkan , namun secara umum penyelenggaraan pesantren terdapat beberapa kelemahan .
1. Pengelolaan lembaga pesantren dianggap masih belum standar, karena :
· Kepemimpinan yang tersentralisasi pada individu yang bersandar pada kharisma sehingga memunculkan mono manajemen, mono administrasi, mono loyalitas dll.
· Kepemilikan pesantren lebih bersifat individual atau keluarga sehingga mengarah pada kepentingan keluarga.
· Otoritarianisme kepemimpinan.
2. Pendirian lembaga pesantren masih banyak yang belum berbadan hukum seperti sebuah yayasan.
3. Kondisi kepemimpinan yang belum mencapai kondisi ideal seperti :
· Lemahnya proses supervisi dan pengembangan organisasi.
· Lemahnya proses evaluasi organisasi yang menyangkut penilaian kinerja dan hasil kerja.
· Lemahnya proses manajemen sumberdaya untuk disesuaikan dengan sasaran, kebutuhan dan kebijaksanaan
· Lemahnya proses manajemen dan pendukung program berupa rumusan dan pelaksanaan program.
· Lemahnya proses pengawasan waktu yaitu proses evaluasi program tentang sejauh mana sasaran, kebutuhan, prioritas dan estándar yang dicapai.
· Lemahnya proses koordinasi atau merencanakan dalam rangka menjamin penggyunaan suberdaya yang efektif dan efisien.
· Lemahnya proses penyelesaian masalah.
4. Sumber pendanaan yang kurang maksimal dan berkesinambungan ,karena banyak yang belum mendapatkan bantuan dari pemeritah sebagai akibat belum berbadan hukum resmi dan penyelenggaraan pendidikan yang belum terstandar...
Langganan:
Postingan (Atom)