Senin, 29 Desember 2014

COOPERATIVE LEARNING TIPE DEBAT

PENINGKATAN HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MATERI PARTISIPASI DALAM USAHA BELA NEGARA MELALUI COOPERATIVE LEARNING TIPE DEBAT PADA SISWA KELAS IX B SMP NEGERI 2 TAMBAKROMO SEMESTER GASAL TAHUN 2011/2012 
Rahmat Sahid 

 ABSTRAK 
Dampak dari pembelajaran yang terpusat pada guru dan mengabaikan peran aktif siswa tampak rendahnya hasil belajar siswa kelas IX B SMP Negri 2 Tambakromo Hal ini dapat di lihat dari daftar nilai rata-rata ulangan harian mata pelajaran PKn masih di bawah KKM. Penulis berpendapat dalam meningkatkan mutu pendidikan salah satunya adalah dengan menerapkan metode pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi yang diajarkan serta dengan tingkat usia anak didik. Masalah yang akan diteliti adalah apakah penerapan model pembelajaran cooperative learning tipe debat dalam pembelajaran PKn pada siswa kelas IX B SMP Negeri 2 Tambakromo Pati dapat meningkatkan hasil belajar siswa ? Tujuan penelitian ini secara umum untuk mengetahui peningkatan hasil belajar PKn pada siswa kelas IXB SMP Negeri 2 Tambakromo semester gasal Tahun 2011/2012, setelah menggunakan model pembelajaran cooperative learning tipe debat. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain penelitian tindakan (action research) yang dirancang melalui dua siklus, masing-masing dengan prosedur : 1) perencanaan (planing), 2) pelaksanaan tindakan ( action), 3) pengamatan (obsevation), dan 4) refleksi (reflektion) Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 2 Tambakromo pada tahun pelajaran 2011/2012, dengan subyek siswa kelas IX B sebanyak 35 anak . Kesimpulannya adalah Pengggunaan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Debat, mampu meningkatkan aspek proses belajar Pendidikan Kewarganegaraan materi “Partisipasi Dalam Usaha Bela Negara” siswa kelas IX B SMP N 2 Tambakromo semester gasal tahun 2011/2012 . Angka kenaikan dari pengamatan aspek pembelajaran siswa pada pra-siklus ke siklus 1 dan siklus 2 ada kenaikan rata rata sebesar 29,71%.Model cooperative learning tipe debat mampu meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan materi “Partisipasi Dalam Usaha Bela Negara”siswa kelas IX B SMP N 2 Tambakromo, pada semester gasal tahun 2011/2012. Peningkatan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan materi “Partisipasi Dalam Usaha Bela Negara”siswa kelas IX B SMP N 2 Tambakromo, semester gasal tahun 2011/2012 dapat dilihat dari peningkatan rata rata nilai ulangan harian serta prosentase ketuntasan pada pra-sikus , siklus ke-1 dan siklus ke-2. Peningkatannya adalah rata rata nilai ulangan harian pada pra-sikus 64,86 , meningkat menjadi 71,43 pada siklus ke-1, dan 78,29 pada ke-2. Ketuntasan klasikalnya adalah pada pra-sikus 42,85% (15 anak), meningkat menjadi 80% (28 anak) pada siklus ke-1 dan siklus 100% (35 anak) pada ke-2. Dan peningkatannya nilai rata rata sebesar 13,43 %. 

Kata Kunci : cooperative learning tipe debat, PKn.,hasil belajar siswa.

 PENDAHULUAN 
Latar Belakang Dalam dunia pendidikan guru berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar, fasilitator yang berusaha menciptakan kondisi yang efektif, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa. Guru dituntut untuk mampu mengelola proses belajar mengajar yang memberikan rangsangan kepada siswa sehingga mau belajar dalam kondisi yang efektif pada proses pembelajaran. Mengajar adalah membimbing kegiatan belajar siswa sehingga ia mau belajar, demikian menurut William Burton. Dengan demikian aktifitas siswa harus dominan dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga mereka harus aktif merencanakan dan melaksanakan belajar sendiri. Kondisi pembelajaran untuk siswa kelas IX dan khususnya kelas IX B, dirasa masih memiliki cara-cara pembelajaran yang klasik. Sebagian guru masih memiliki paradigma pembelajaran yang lama sehingga berdampak pada motivasi belajar dan cara berfikir siswa. Ditemukan fakta bahwa dalam proses pembelajaran siswa pada kelas IX B SMPN 2 Tambakromo masih belum berorientasi pada siswa. Guru masih belum menerapkan pendekatan, model pembelajaran maupun metode mengajar yang berorientasi pada siswa. Demikian pula sebagai dampak yang jelas terlihat adalah masih rendahnya hasil belajar siswa. Hal ini dapat di lihat dari daftar nilai rata-rata ulangan harian mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan masih di bawah KKM. Pembelajaran kooperatif lebih menekankan interaksi antar siswa. Dari sini siswa akan melakukan komunikasi aktif dengan sesama temannya. Dengan komunikasi tersebut diharapkan siswa dapat menguasai materi pelajaran dengan mudah karena siswa lebih mudah memahami penjelasan dari kawannya dibanding penjelasan dari guru karena taraf pengetahuan serta pemikiran mereka lebih sejalan dan sepadan.Peneliti telah berupaya untuk mengatasi kendala dalam pembelajaran seperti yang diutarakan di atas, dengan memberi motivasi, menggunakan beberapa metode serta pendekatan pembelajaran, namun belum membuahkan hasil yang maksimal. Dari beberapa temuan kendala dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diatas, maka penulis berkeinginan untuk meneliti dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar Pendidikan Kewarganegaraan Materi Partisipasi Dalam Usaha Bela Negara melalui Cooperative Learning Tipe Debat Siswa Kelas IX B SMP Negeri 2 Tambakromo tahun 2011/2012”. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan satu masalah penting sebagai berikut: 1 Bagaimana proses belajar siswa dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan materi “Partisipasi Dalam Usaha Bela Negara”siswa kelas IX B SMP N 2 Tambakromo semester gasal tahun 2011/2012 ? 2 Apakah penerapan model pembelajaran Cooperative Learning Tipe Debat dapat meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan materi “Partisipasi Dalam Usaha Bela Negara”siswa kelas IX B SMP N 2 Tambakromo semester gasal tahun 2011/2012? KAJIAN TEORI A. Hasil Belajar Pendidikan Kewarganegaraan. Kegiatan pembelajaran tidak akan berarti jika tidak menghasilkan kegiatan belajar pada para siswanya. Kegiatan belajar hanya bisa berhasil jika pebelajar secara aktif mengalami sendiri proses belajar. Seorang guru tidak dapat “mewakili” belajar untuk siswanya. Seorang siswa belum dapat dikatakan telah belajar hanya karena ia sedang berada dalam satu ruangan dengan guru yang sedang mengajar. Ada satu syarat mutlak yang harus dipenuhi agar terjadi kegiatan belajar. Syarat itu adalah adanya interaksi antara pebelajar (learner) dengan sumber belajar. Jadi, belajar hanya terjadi jika dan hanya jika terjadi interaksi antara pebelajar dengan sumber belajar. Tanpa terpenuhi syarat itu, mustahil kegiatan belajar akan terjadi. Dari beberapah pendapat para ahli tentang pengertian belajar akhirnya dapat disimpulkan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwaraga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungan yang ,menyangkut kognitif,afektif dan psikomotor. Proses transfer pengetahuan atau sering dikenal dengan istilah proses belajar mengajar memiliki dua dimensi, yaitu aspek kegiatan siswa yang bersifat individual, dan aspek orientasi guru atas kegiatan siswa. Berdasarkan dua dimensi tersebut,, menurut Zamroni dalam buku Paradigma Pendidikan Masa Depan, disebutkan empat model pelaksanaan Proses Belajar Mengajar ( PBM ). Pertama, Self Study, yaitu kegiatan siswa dilaksanakan secara individual, dan orientasi guru dalam mengajar juga bersifat individu. Model ini memusatkan perhatian pada diri siswa. Agar siswa dapat memusatkan perhatian, perlu diarahkan oleh dirinya sendiri dan bantuan dari luar yakni guru. Siswa harus dapat mengintegrasikan pengetahuan yang baru diterima kedalam pengetahuan yang telah dimiliki. Kedua, cara mengajar tradisional, yaitu cara pembelajaran dengan aktifitas siswa bersifat individual, dan orientasi guru mengarah pada kelompok. Model ini kegiatan utama siswa adalah mendengar dan mencatat apa yan diceramahkan guru. Seberapa jauh siswa dapat mendengarkan apa yang diceramahkan guru tergantung pada ritme guru membawakan ceramah itu sendiri. Siswa akan dapat mengintegrasikan apa yang didengar kedalam pengetahuan yang telah dimiliki apabila siswa dapat mengaitkan pengetahuan dengan apa yang diingat. Ketiga, model persaingan, yaitu cara pembelajaran dengan aktifitas yang bersifat kelompok tetapi orientasi guru bersifat individu . Model ini menekankan partisipasi siswa dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, semua siswa harus aktif dalam kegiatan kelompok tersebut.Seberapa jauh siswa dapat berpartisipasi dalam kegiatan akan ditentukan oleh seberapajauh kegiatan memiliki kebebassan dan dapat membangkitkan semangat kompetisi. Keempat,model cooperative collaborative, yaitu cara pembelajaran dengan aktifitas siswa yang bersifat kelompok dan orientasi guru juga bersifat kelompok. Model ini menekankan kerjasama diantara siswa dan diarahkan untuk tujuan bersama yang telah disepakati berdasarkan nilai-nilai yang dihayati bersama. Kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran merupakan kerja sama diantara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Dengan pendekatan ini guru tidak selalu memberikan tugas-tugas secara individu, melainkan secara kelompok. Hasil belajar dibagi menjadi tiga macam yaitu : (a). keterampilan dan kebiasaan; (b). pengetahuan dan pengertian; (c). sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah (Sudjana, 2004:22). Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Proses penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan belajar. Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan membina kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun individu. Hasil belajar merupakan penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran , lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Hasil belajar adalah kemampuan keterampilan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah ia menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah terjadinya proses pembelajaran yang ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru setiap selesai memberikan materi pelajaran pada satu pokok bahasan, apakah sudah mencapai nilai KKM atau belum . Pendidikan Kewarganegaraan memiliki arti penting dalam rangka pembinaan dan pembentukkan manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila, khususnya bagi generasi muda penerus bangsa dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Generasi muda mengemban tugas membina dan melestarikan nilai dan moral Pancasila dengan demikian melaui Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan siswa menjadi manusia terdidik dan warganegara yang baik serta berperilaku sesuai dengan norma Pancasila. Pendidikan Kewarganegaraan memiliki arti penting dalam melestarikan nilai luhur dan moral yang bersumber dari budaya bangsa, dan diharapkan siswa dapat menerapkan dalam tingkah laku dalam kehidupan di lingkungannya, bangsa dan Negara. Berdasarkan pengertian Pendidikan Kewarganegaraan dalam kurikulum pendidikan dasar, maka Pendidikan Kewarganegaraan berfungsi : 1) Melestarikan dan mengembangkan nilai moral. Moral Pancasila yang dikembangkan itu mampu menjawab tantangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat. 2) Mengembangkan dan membina siswa menuju manusia Indonesia seutuhnya yang sedikit politik, hukum dan konstitusi Negara kesatuan Republik Indonesia berlandaskan Pancasila. 3) Membina pemahaman dan kesadaran tentang hubungan antar warga negara dengan sesama warga negara dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan mampu melaksanakan dengan baik hak dan kewajiban sebagai warga negara. 4) Membekali siswa dengan sikap perilaku yang berdasarkan nilai-nilai moral Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) / Madrasah Tsanawiyah (MTs) , mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. 2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi. 3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya. 4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam kaitan dengan hal di atas, yang menjadi ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut. 1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan 2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional 3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM 4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara 5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi 6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi 7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka 8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi. Dari uarain di atas, maka hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan adalah kemampuan siswa dalam menguasai materi Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan hasil dari pengalaman atau pelajaran setelah mengikuti pembelajaran secara periodik dalam kelas. Dengan selesainya proses belajar mengajar diakhiri dengan evaluasi untuk mengetahui kemajuan belajar atau penguasaan siswa atau terhadap materi Pendidikan Kewarganegaraan terutama materi “Partisipasi Dalam Usaha Bela Negara” yang diberikan oleh guru. Dari hasil evaluasi ini akan dapat diketahui hasil belajar siswa yang biasanya dinyatakan dalam bentuk nilai atau angka. B. Model Cooperative Learning Tipe Debat. Model pembelajaran Cooperative Learning adalah model pembelajaran bersama-sama dalam suatu kelompok dalam jumlah tiga sampai lima orang anggota siswa. Para anggota bekerjasama dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas yang telah diberikan guru. Menurut Kagan , ada empat prinsip dasar model pembelajaran Cooperative Learning , yaitu : (1) interaksi yang simultan, (2) saling ketergantungan antar anggota, (3) tiap individu memiliki tanggung jawab terhadap kelompok, dan (4) peran serta anggota seimbang. Sedangkan menurut pendapat Johnson , Model pembelajaran Cooperative Learning memiliki lima prinsip dasar, yaitu : (1) menumbuhkan semangat saling ketergantungan; (2) tanggung jawab individual; (3) bekerja dalam kelompok; (4) tumbuh kecakapan soaial dan bekerjasama; (5) terjadi interaksi antar siswa secara langsung. Pembelajaran kooperatif bergantung pada kelompok-kelompok kecil si pebelajar. Meskipun isi dan petunjuk yang diberikan oleh pengajar mencirikan bagian dari pengajaran, namun pembelajaran kooperatif secara berhati-hati menggabungkan kelompok-kelompok kecil sehingga anggotaanggotanya dapat bekerja bersama-sama untuk memaksimalkan pembelajaran dirinya dan pembelajaran satu sama lainnya. Masing-masing anggota kelompok bertanggungjawab untuk mempelajari apa yang disajikan dan membantu teman anggotanya untuk belajar. Ketika kerjasama ini berlangsung, tim menciptakan atmosfir pencapaian, dan selanjutnya pembelajaran ditingkatkan Cooperative Learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Kebanyakan melibatkan siswa dalam kelompok yang terdiri dari 4 (empat) siswa yang mempunyai kemampuan yang berbeda, dan ada yang menggunakan ukuran kelompok yang berbeda-beda . Khas Cooperative Learning yaitu siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kooperatif dan tinggal bersama dalam satu kelompok untuk beberapa minggu atau beberapa bulan. Sebelumnya siswa tersebut diberi penjelasan atau diberi pelatihan tentang bagaimana dapat bekerja sama yang baik dalam hal (a) Bagaimana menjadi pendengar yang baik, (b) Bagaimana memberi penjelasan yang baik (c) Bagaimana cara mengajukan pertanyaan dengan benar dan lain-lainnya. Aktivitas Cooperative Learning dapat memainkan banyak peran dalam pelajaran. Dalam pelajaran tertentu Cooperative Learning dapat digunakan 3 (tiga) tujuan berbeda yaitu: Dalam pelajaran tertentu siswa sebagai kelompok yang berupaya untuk menemukan sesuatu, kemudian setelah jam pelajaran habis siswa dapat bekerja sebagai kelompok-kelompok diskusi dan setelah itu siswa akan mendapat kesempatan bekerja sama untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai segala sesuatu yang telah dipelajarinya untuk persiapan kuis, bekerja dalam suatu format belajar kelompok. Dalam pembelajaran model debat, siswa baik secara individu maupun kelompok , semuanya dilatih. Di satu pihak ( kelompok proposisi ) dilatih untuk mengemukakan suatu pendapat propossisi terhadap suatu persoalan. Sedangkan di pihak lain( kelompok kontra ) diminta untuk mengemukakan bantahan ,sanggahan ataupun pendapat yang berbeda dengan disertai alasan atau argumentasi. Langkah- langkah pembelajaran Model Cooperative Learning Tipe Debat adalah : a) Guru membagi dua kelompok peserta debat, yang satu pro dan yang lainnya kontra. b) Guru membagi tugas untuk membaca materi yang akan didebatkan oleh kedua kelompok di atas. c) Setelah selesai membaca materi, guru menunjuk salah satu anggota kelompopk pro untuk berbicara , dan saat itu ditanggapi atau dibantah oleh kelompok kontra, demikian seterusnya sampai sebagian siswa bisa mengemukakan pendapatnya. d) Sementara siswa menyampaikan gagasannya, guru menulis inti ide-ide dari setiap pembicaraan di papan tulis sampai sejumlah ide yang diinginkan guru muncul dan terpenuhi. e) Guru menambah ide atau konsep yang belum terungkap. f) Dari data di papan tulis tersebut, guru mengajak siswa untuk membuat kesimpulan atau rangkuman yang mengacu pada hasil belajar yang diinginkan.

METODE PENELITIAN 
 Penelitian Tindakan Kelas ini dilakukan di SMP Negeri 2 Tambakromo dengan subyek siswa kelas IX B sebanyak 35 anak . Prosedur penelitian tindakan kelas ini terdiri atas pra-siklus dan 2 siklus, tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai, seperti yang telah direncanakan dalam penelitian. Kegiatan atau tindakan di kelas yang akan penulis lakukan adalah dengan pendekatan model Classroom Action Research ( CAR ) yang dikembangkan oleh Kurt Lewin dalam buku Pedoman Tehnik Pelaksanaan Classroom Acton Researh oleh Depdikbud. Model tindakan kelas tersebut pada intinya terdiri dari empat komponen yaitu perencanaan ( planning ), tindakan ( acting ), pengamatan ( observing ), dan refleksi (reflecting). 

 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 
Hasil pengamatan proses pembelajaran yang dibantu oleh Kolabor pada pra-siklus, didapatkan hasil data hampir semua aspek ( keaktifan siswa, keberanian berpendapat, menghargai pendapat teman, , dan kemampuan memecahkan masalah) berkategori rendah, dan hanya aspek kerjasama dalam kelompok yang berkategori sedang. Pada akhir kegiatan pembelajaran pra-siklus, diadakan ulangan harian dengan materi Kompetensi Dasar “1.1 Menjelaskan pentingnya usaha pembelaan negara” sebanyak 10 soal uraian. Hasil evaluasi sebelum diadakan tindakan penelitian dapat diketahui bahwa siswa yang memiliki nilai kurang dari KKM (70) sebanyak 20 siswa atau sebesar 57,15%, dengan rata rata nilai hanya sebesar 64,86. Sedangkan yang sudah mencapai ketuntasan minimal ada 15 siswa atau sebesar 42,85%. Kondisi itu masih berada di bawah standar yang ditetapkan sekolah yaitu KKM sebesar 70 dan ketuntasan klasikal sebesar 85%. Perbandingan antara yang sudah tuntas dan yang belum , dapat dilihat pada Grafik Batang di bawah ini. Gambar 4.5. Grafik Batang ketuntasan Pra-siklus. Dalam pertemuan pembelajaran pertama (pra-siklus) memang belum digunakan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Debat, sehingga rata rata nilai ulangan harian masih rendah. Hal itu disebabkan beberapa hal, diantaranya sebagai berikut. a) kondisi rata-rata intelegensia siswa yang sedang, b) budaya pembelajaran yang dilakukan beberapa guru kurang mendukung keaktifan siswa, guru belum kreatif untuk menggunakan model pembelajaran yang cocok dan menyenangkan serta menngugah kreatifitas siswa. c) daya dukung fasilitas yang disediakan untuk proses pembelajaran masih kurang maksimal. d) motivasi belajar sangat rendah, karena tidak ada motivasi berprestasi atau melanjutkan sekolah lebih tinggi. e) jarang ditemukan budaya belajar mempersiapkan ulangan harian, karena tidak ada motivasi berprestasi. f) kondisi lingkungan masyarakat siswa yang tinggal di pinggiran/pedesaan jauh dari kota, sehingga jauh dari segala akses kecukupan untuk mendukung proses pendidikan. g) budaya keluarga dari golongan menengah kebawah (banyak orang tuanya yang merantau) sehingga kurang perhatian untuk masalah pendidikan , Hasil pengamatan proses pembelajaran yang dibantu oleh Kolabor pada siklus ke-1, didapatkan hasil data hampir semua aspek ( keaktifan siswa, keberanian berpendapat, menghargai pendapat teman, , dan kemampuan memecahkan masalah) mengalami peningkatan menjadi baik kategorinya, dan hanya aspek kerjasama dalam kelompok yang berkategori sedang. Jika digambarkan dalam diagram batang perbandingan antara pra-siklus dengan sikus ke-1 maka tampak data sebagai berikut. Gambar 4.7. Diagram batang pengamatan aspek pembelajaran siswa Data tersebut dapat diartikan bahwa proses pembelajaran pada waktu siklus ke-1 sudah mengalami perubahan positif dan mampu mengaktifkan peran siswa dalam pembelajaran, serta hasil pembelajarannya juga meningkat. Dalam pembelajaran siklus ke-1 tampak ada kenaikan skor di semua aspek pembelajaran siswa. Penyebab meningkatnya keaktifan belajar siswa, peneliti meyakini adanya treatment pengggunaan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Debat, sehingga hasil pengamatannya mendapatkan hasil yang lebih baik. Setelah selesainya kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning Tipe Debat, diadakan ulangan harian dengan materi Kompetensi Dasar “1.2 “Mengidentifikasi bentuk bentuk Usaha Pembelaan Negara” sebanyak 10 soal uraian. Hasil evaluasi setelah menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning Tipe Debat pada sikus ke-1, dapat diketahui bahwa siswa yang memiliki nilai kurang dari KKM (70) sebanyak 7 siswa atau sebesar 20,00%, dengan rata rata nilai hanya sebesar 71,43. Sedangkan yang sudah mencapai ketuntasan minimal ada 28 siswa atau sebesar 80%. Walaupun sudah ada perubahan perbaikan, tetapi kondisi itu masih berada di bawah standar yang ditetapkan sekolah yaitu KKM individu sebesar 70 dan ketuntasan klasikal sebesar 85%. Hasil ulangan harian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pada siklus ke-1 ini sudah menunjukkan kemajuan , karena cara guru dalam mengajar sudah menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning Tipe Debat. Walaupun masih ditemukan siswa yang pasif, tetapi kondisi itu sudah berkurang, dan tampak kreatifitas siswa dalam belajar bertambah. Dalam pertemuan pembelajaran siklus ke-1 walaupun sudah digunakan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Debat, tetapi hasilnya ulangan hariannya masih belum memuaskan. Hal itu disebabkan beberapa hal, diantaranya masih sulit menghilangkan kendala seperti temuan pada kondisi awal/pra-siklus, budaya berprestasi masih rendah, motivasi belajar masih rendah. Hasil pengamatan proses pembelajaran yang dibantu oleh Kolabor pada siklus ke-2, didapatkan hasil data semua aspek ( keaktifan siswa, keberanian berpendapat, menghargai pendapat teman, , dan kemampuan memecahkan masalah) mengalami peningkatan menjadi baik kategorinya. Gambar 4.10. Diagram batang pengamatan aspek pembelajaran siswa Data tersebut dapat diartikan bahwa proses pembelajaran pada waktu siklus ke-2 sudah mengalami perubahan positif dan mampu mengaktifkan peran siswa dalam pembelajaran, serta hasil pembelajarannya juga meningkat. Dalam pembelajaran siklus ke-2 tampak ada kenaikan skor di semua aspek pembelajaran siswa. Penyebab meningkatnya keaktifan belajar siswa diyakini adanya treatment pengggunaan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Debat, sehingga hasil pengamatannya mendapatkan hasil yang lebih baik. Jika dilihat angka kenaikan dari pengamatan aspek pembelajaran siswa pada pra-siklus ke siklus 1 dan siklus 2 maka ada kenaikan rata rata sebesar 29,71%. Hasil ulangan harian pada tahap siklus ke-2 tampak perubahan perbaikan jika dibandingkan dengan tahap siklus ke-1. Hal itu membuat peneliti terus berupaya memperbaiki pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning Tipe Debat untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Setelah selesainya kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning Tipe Debat pada tahap siklus ke-2, maka diadakan ulangan harian dengan materi Kompetensi Dasar “1.3 “Mengidentifikasi bentuk bentuk Usaha Pembelaan Negara” sebanyak 10 soal uraian. Hasil evaluasi setelah menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning Tipe Debat pada sikus ke-2, dapat diketahui bahwa semua siswa mendapatkan nilai diatas KKM (70) , dengan rata rata nilai sebesar 78,29. Ini menandakan bahwa kreteria ketuntasan klasikal sebesar 85% sudah bisa tercapai. Hasil ulangan harian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pada siklus ke-2 ini sudah lebih baik dari sebelumnya , karena cara guru dalam mengajar sudah menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning Tipe Debat. Walaupun masih ditemukan siswa yang pasif, tetapi kondisi itu sudah berkurang, dan tampak kreatifitas siswa dalam belajar bertambah. Dalam pertemuan pembelajaran siklus ke-2 sesudah digunakan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Debat dengan bebera perbaikan pada ertemuan sebelumnya, maka didapatkan hasil yang lebih baik. Dapat diarikan bahwa rata rata nilai ulangan harian dari pra-siklus ke siklus ke-2 ada peningkatan sebesar 13,43%, yang berarti bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tipe Debat dapat meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan materi “Partisipasi Dalam Usaha Bela Negara” siswa kelas IX B SMP N 2 Tambakromo semester gasal tahun 2011/2012 . Bila dilihat dengan grafik, perubahan jumlah siswa yang tuntas dan yang belum pada pra-siklus dengan siklus ke-1 dan siklus ke-2 maka dapat dilihat grafik di bawah ini. Gambar 4.11. Perbandingan Grafik Ketuntasan antar siklus. Melihat kondisi seperti di atas, dapat dipastikan bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tipe Debat dapat meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan materi “Partisipasi Dalam Usaha Bela Negara” siswa kelas IX B SMP N 2 Tambakromo semester gasal tahun 2011/2012. 

PENUTUP 
Setelah melalui proses perbaikan dari pra-siklus, ke siklus ke-1 hingga siklus ke-2, dan menganalisis data dan fakta hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1 Pengggunaan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Debat, mampu meningkatkan aspek proses belajar Pendidikan Kewarganegaraan materi “Partisipasi Dalam Usaha Bela Negara” siswa kelas IX B SMP N 2 Tambakromo semester gasal tahun 2011/2012 . Angka kenaikan dari pengamatan aspek pembelajaran siswa pada pra-siklus ke siklus 1 dan siklus 2 ada kenaikan rata rata sebesar 29,71%. 2 Model cooperative learning tipe debat mampu meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan materi “Partisipasi Dalam Usaha Bela Negara”siswa kelas IX B SMP N 2 Tambakromo, pada semester gasal tahun 2011/2012. Peningkatan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan materi “Partisipasi Dalam Usaha Bela Negara”siswa kelas IX B SMP N 2 Tambakromo, semester gasal tahun 2011/2012 dapat dilihat dari peningkatan rata rata nilai ulangan harian serta prosentase ketuntasan pada pra-sikus , siklus ke-1 dan siklus ke-2. Peningkatannya adalah rata rata nilai ulangan harian pada pra-sikus 64,86 , meningkat menjadi 71,43 pada siklus ke-1, dan 78,29 pada ke-2. Ketuntasan klasikalnya adalah pada pra-sikus 42,85% (15 anak), meningkat menjadi 80% (28 anak) pada siklus ke-1 dan siklus 100% (35 anak) pada ke-2. Dan peningkatannya nilai rata rata sebesar 13,43 %. 

DAFTAR PUSTAKA 
Achmad Sugandi. 2004. Teori Pembelajaran. Semarang : UPT MKK UNNES Andreas Priyono. 1999. Penulisan Proposal Penelitian Classroom Base Action Research. Semarang. : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kanwil Depdikbud Provinsi Jawa Tengah AT. Sugeng Priyanto. 2003. Life Skill. Universitas negeri Semarang Aunurrahman., 2009: Belajar dan Pembelajaran . Bandung : Alfabeta,. Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta. Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar & Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta Depdikbud. 2001. Pedoman Teknis Pelaksanaan Classroom Action Research. Jakarta : Depdikbud Depdiknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching And Learning). Jakarta : Depdiknas Engkoswara dan Aan Komariah., 2010: Administrasi Pendidikan , Bandung : Alfabeta Isjoni. 2007. Cooperatif Learning. Bandung : Alfabeta. Melvin. 2001. Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Yappendis. Moleong,Lexy J.2010 : Metodologi Penelitian Kuantitatif. Bandung : Remaja Rusdakarya Mulyana, E. 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rustamaji, 2007 : Guru Yang Menggairahkan, , Yogyakarta : Gama Media Sagala, Syaiful, 2010: Konsep dan Makna Pembelajaran , Bandung : Alfabeta Sungkono. 2003. Contextual Teaching and Learning (CTL). Departemen Pendidikan Nasional : Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan : Lanjutan Pertama Usman, MU. 1998. Menjadi Guru Profesional. Bandung : Remaja Rosda Karya. Zamroni. 2001. Paradikma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bayu Indra Grafika

Sabtu, 30 Juli 2011

Minggu, 24 Juli 2011

POKOK-PIKIRAN UU. NOMOR 12 TAHUN 1954

POKOK-POKOK PIKIRAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1954
(Rahmat Sahid, Pasca UMS 2011)

I.            PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Para pejuang serta perintis kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan dan meningkatkan derajat kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Oleh karena itu, disamping memperjuangkan bangsa menuju kemerdekaan per1u dikembangkan sumber daya manusia melalui jalur lembaga-lembaga pendidikan.
Kurangnya sistem demokrasi yang dirasakan pada masa pemerintah kolonial karena bersifat diskriminatif dan diorientasikan untuk kepentingan pemerintah penjajahan, maka sistem pendidikan perlu dikembangkan untuk menjangkau kepentingan bangsa.
 “Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau dengan cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”. ( UU No. 20 / 2003 )
Memperhatikan makna yang terkandung pada Undang-undang tersebut di atas, bahwa pendidikan memberikan peranan penting untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan secara khusus memberi kesempatan mengembangkan potensi diri untuk untuk kehidupan pribadi maupun kehidupan bangsa.
 Dengan demikian, untuk mewujudkan derajat sumber daya manusia melalui pendidikan dan pengajaran diperlukan peraturan perundang-undangan yang melindungi dan mengatur terselenggaranya pendidikan dan pengajaran maka pada masa Orde Lama diterbitkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 50 atau Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah.
Untuk memperjelas pemahaman tentang pembahasan undang-undang tersebut, maka penjelasan diorientasikan pada tiga pokok pikiran, meliputi tujuan pendidikan dan pelajaran, bahasa pengantar di sekolah dan jenjang pendidikan.
B.Rumusan  Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan diatas, maka permasalahan yang akan diuraikan adalah :
1.    Apa tujuan pendidikan dan pelajaran menurut UU No 12 Tahun 1954?
2.    Bagaimana pelaksanaan pembelajaran pada lembaga pendidikan menurut UU No 12 Tahun 1954?
3.    Bagaimana jenjang pendidikan menurut UU No 12 Tahun 1954?
 C.Tujuan
Tujuan penulisan dari makalah ini diantaranya : sebagai referensi kalangan pendidikan dalam merefleksikan sistem pendidikan di Indonesia yaitu :
1.    mengetahui sitem pendidikan nasional pada era Orde Lama.
2.    agar pembaca peduli terhadap pendidikan dan dapat menyumbangkan pemikiran-pemikiran positif dalam memecahkan permasalahan pendidikan, dan pengajaran.


II.   PEMBAHASAN
A.  Tujuan Pendidikan dan Pelajaran menurut UU No 12 Tahun 1954.
Sistem pendidikan nasional pada masa ini masih belum mencerminkan adanya kesatuan. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 hanya mengatur pendidikan dan pengajaran di sekolah, sementara penyelenggaraan pendidikan tinggi belum diatur. Undang-Undang yang mengatur penyelenggaraan Pendidikan Tinggi baru lahir pada tahun 1961 dengan disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1961 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi.
Berlakunya dua undang-undang dalam sistem pendidikan, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 dan Undang-undang No. 22 Tahun 1961 sering dipandang sebagai kendala yang cukup mendasar bagi pembangunan pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang tersebut, di samping tidak mencerminkan landasan kesatuan sistem pendidikan nasional, karena didasarkan pada Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat, juga tidak sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Pokok pikiran untuk membentuk karakter kebangsaan sebagai mana yang tertuang pada Bab III pasal 3, bahwa tujuan pendidikan dan pelajaran ialah membentuk manusia sosial yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Ungkapan yang tersirat  pada isi undang-undang tersebut di atas, menyadari bahwa manusia sebagai makhluk sosial disadari hubungan antar manusia adalah penting terutama untuk mempertahankan kemerdekaan dari berbagai suku bangsa, yang ada di Indonesia yang bersifat majemuk dapat dipersatukan menjadi bangsa yang merdeka, bekerja sama satu sama lain dapat terjalin hubungan yang harmonis.
Bentuk kebhinekaan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sistem pemerintahan yang mendudukkan rakyat sebagai unsur utama dalam lembaga pemerintahan, maka pendidikan demokratis dikemas dan dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dan politik dapat memberikan kebebasan rakyat untuk beraspirasi positif terutama untuk membangun bangsa yang kuat serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa melalui jenjang pendidikan.
Dengan meningkatkan pendidikan sebagaimana yang tersirat pada pasal tersebut, bahwa melalui pendidikan bertujuan akan meningkatkan kesejahteraan bangsa. Tujuan dari meningkatkan kesejahteraan tidak luput dari peningkatan perekonomian negara yang berorientasi bahwa dengan pendidikan dapat meningkatkan sumberdaya dari potensi diri manusia Indonesia secara seimbang perekonomianpun meningkat.

B.  Pelaksanaan Pembelajaran pada Lembaga Pendidikan menurut UU No 12 Tahun 1954.
            Pada Bab IV pasal 5 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1954 memuat pernyataan : “ Bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah bahasa pengantar sekolah di seluruh Indonesia”. Pernyataan tersebut bertujuan untuk pemerataan pendidikan di Indonesia sekaligus memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa melalui pendidikan.
Wujud dari tujuan dalam sistem pendidikan dikembangkan pemerataan pendidikan terutama dengan pemerataan pengajaran dari daerah yang lebih maju disebar ke daerah yang belum maju atau ke pelosok, penempatan tenaga kerja ke luar daerah pada waktu itu menjadi orientasi yang memaknai pemerataan pendidikan.
Memperhatikan proses pemerataan pendidikan, maka untuk kelancaran proses ditetapkan bahasa persatuan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan sekaligus mewujudkan persatuan bangsa malalui bahasa.
Dengan demikian maka kelancaran proses pembelajaran perlu ditetapkan bahasa sebagai bahasa pemersatu dalam pendidikan dan terwujudnya pemerataan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954.

C.  Jenjang Pendidikan menurut UU No 12 Tahun 1954.
                      Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 hanya mengatur pendidikan dan pengajaran di sekolah, sementara penyelenggaraan pendidikan tinggi belum diatur. Undang-Undang yang mengatur penyelenggaraan Pendidikan Tinggi baru lahir pada tahun 1961 dengan disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1961 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi.
Penyelenggaraan pendidikan yang diatur dengan dua undang-undang yang berlainan menyebabkan konsolidasi dalam perwujudan satu sistem pendidikan nasional – seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945 Pasal 31 Ayat (2) – belum terlaksana sepenuhnya. Sesuai dengan kedua undang-undang tersebut, persekolahan pada waktu itu memiliki penjenjangan berikut.
a)            Pendidikan prasekolah yang disebut Taman Kanak-kanak.(TK) dengan lama belajar satu atau dua tahun. Berdasarkan undang-undang yang berlaku hanya diatur bahwa pendidikan taman kanak-kanak merupakan salah satu bentuk sekolah tetapi tidak diatur bahwa pendidikan prasekolah merupakan prasyarat untuk memasuki sekolah dasar.
b)           Sekolah dasar (SD) dengan lama pendidikan enam tahun yang menampung murid-­murid baik yang telah lulus maupun tidak lulus pendidikan taman kanak-kanak.
c)            Sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) adalah pendidikan dengan lama belajar tiga tahun setelah lulus SD. Dalam undang-undang ini, pendidikan kejuruan mulai dilakukan pada tingkat SLTP. Pada waktu itu SLTP terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan umum yang diselenggarakan melalui sekolah menengah pertama (SMP) dan pendidikan kejuruan melalui sekolah menengah kejuruan tingkat pertama (SMKTP).
d)           Sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) adalah pendidikan sekolah dengan lama belajar tiga atau empat tahun setelah SMP atau SMKTP. Undang-undang yang berlaku pada waktu itu sudah menganggap penting dikembangkannya pendidikan menengah kejuruan sehingga, di samping pendidikan menengah umum yang diselenggarakan di sekolah menengah atas (SMA) juga berkembang jenis-jenis sekolah menengah kejuruan tingkat atas (SMKTA).
e)            Perguruan Tinggi (PT) adalah pendidikan dengan lama kuliah tiga sampai empat tahun untuk tingkat sarjana muda dan lima sampai tujuh tahun untuk tingkat sarjana yang ditempuh baik melalui universitas, institut, akademi, maupun sekolah tinggi.
f)            Di lain pihak, pendidikan masyarakat juga merupakan bagian yang integral dalam sistem pendidikan nasional pada waktu itu. Pendidikan masyarakat atau pendidikan luar sekolah bertujuan untuk: pertama; memberikan pengetahuan dan keterampilan, termasuk kemampuan membaca, menulis dan berhitung kepada orang-orang dewasa yang buta huruf yang tidak berkesempatan bersekolah, kedua; membantu orang-orang dewasa yang sudah bekerja agar lebih produktif di dalam usaha-usahanya, dan ketiga; memperkecil jurang antara kemajuan di daerah perkotaan dengan kemajuan di daerah pedesaan.
Pada jenjang pendidikan rendah sifat pembelajaran dengan pendidikan dan pengajaran yang menjadi dasar  untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan berikutnya. Pendidikan dasar dibedakan menjadi dua tingkatan kelembagaan yaitu Sekolah Dasar (Rakyat) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Pendidikan tingkat menengah (umum dan kejuruan) atau tingkat SLTA beroriantasi pada jalur melanjutkan ke pendidikan berikutnya ataupun jenjang persiapan kerja dengan bekal keterampilan sesuai dengan pengembangan potensi diri yang diharapkan.
Sedangkan pendidikan dan pengajaran tinggi diselenggarakan oleh lembaga perguruan tinggi dengan mengembangkan pengetahuan, penerapan dan pengamalan intelektual yang bermanfaat bagi masyarakat dan negara maupun untuk kepentingan diri.








III.   Penutup
A.  Kesimpulan
Dari uraian pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 memiliki pikiran pokok:
1.    Menitikberatkan pada pendidikan sosial, demokratis dan memupuk rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa.
2.    Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan pengajaran sebagai bahasa pemersatu dalam pendidikan dan terwujudnya pemerataan pendidikan di seluruh wilayah Iindonesia serta untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3.    Penetapan jenjang pendidikan di Indonesia.
B.  Saran
Dari uraian pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 memiliki pikiran pokok:
1.         Lembaga penyelengara pendidikan dapat menghasilkan tamatan dengan menguji penerapan secara riil sebagai tolok ukur keberhasilan.
2.         Untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa bukan hanya sebagai bahasa pengantar tetapi juga diterapkan dalam pergaulan di lembaga pendidikan.
3.         Lembaga pendidikan khususnya yang didirikan disamping memperhatikan kebutuhan juga memperhatikan jenjang yang dibuka.





DAFTAR PUSTAKA
Ø  ———             Undang-undang Republik Indonesia,  No. 2  Tahun  1989 tentang   Sistem   Pendidikan Nasional dan  Penjelasannya, Departemen  Pendidikan dan     Kebudayaan Repub1ik Indonesia,  1989.
Ø  .———            Undang-undang Republik Indonesia,No. 20  Tahun  2003 tentang   Sistem   Pendidikan   Nasional    dan   Penjelasannya, Pen. CV Aneka Ilmu, cet. 1 tahun 2003
Ø  Ardhana,  Wayan (1991). Kebijakan pemerintah dalam strategi pendidikan nasional. Makalah dalam Seminar Televisi Perididikan Indonesia di Surabaya, 23 Februari .
Ø  Ardhana, Wayan (1990). Atribusi terhadap sebab-sebah keberhasi1an  dan    kegagalan,     serta    kaitannya    dengan motivasi    berprestasi,    Pidato    pengukuhan   Guru    Besar, IKIP   Malang.
Ø  Ardhana, Wayan (1990). Hakikat kewajiban belajar dalam menyongsong rintisan kewajiban belajar SLTP, naskah tidak dipublikasikan.
Ø  Bebby, C.E. (1982). Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan pedoman perencanaan, LP3ES, Jakarta.
Ø  Clifford,    Margaret M. { 1990 ). Students need challenge, not easy success, Educational Leadership, 48 (1), 22 - 34.
Ø  Cummings, William K. ( 1980 ). Education and equality in Japan, Princeton University Press, Princeton, New Jersey.
Ø  Dweck, Carol S. (1986). Motivational processes affecting learning, American Psychologist, 41(10), 1040-1048.
Ø  Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
Ø  Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo                             Dananjaya dkk. Jakarta

Pendidikan Budi Pekerti

Pendidikan Berbudi Pekerti
(Rahmat Sahid, Pasca UMS.2011)

A. Nilai  Budi Pekerti
Dewasa ini, terutama di kota- kota besar terdapat perilaku menyimpang atau amoral, asusila seperti perkelahian masal,tawuran siswa, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, pelanggaran tata tertib dan lain-lain. Untuk menangkal atau mencegahnya dipelukan pendidikan yang benar, termasuk pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti dilaksanakan  terintegrasi untuk pembentukan watak kepribadian pesrta didik yang utuh tercermin pada perilaku berupa ucapan,perbuatan sikap, pikiran perasaan, kerja dan hasil karya yang baik. Realisasi pendidikan budi pekerti perlu diwujudkan dalam lingkungan keluarga,  sekolah dan masyarakat secara terpadu.
Budi pekerti berisi nilai nilai  perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui ukuran norma agama,, norma hukum, tata karma dan sopan santun, norma budaya atau adat istiadat masyarakat. Pendidikan budi pekerti  adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur, dalam segenap perananya sekarang dan yang akan datang agar mampu melaksanakan tugas-tugas hidup secara selaras selaras ,serasi dan seimbang melalui kegiatan bimbingan,pembiasaan, pengajaran, pelatihan dan keteladanan.
Pendidikan budi pekerti diberikan kepada siswa  dengan  tujuan meliputi:
1.              Mendorong kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji sejalan dengan nilai nilai universaldan tradisi bangsa yang religius.
2.              Menanamkan jiwa kepemimpinandan tanggung jawab peserta didik sebagi penerus bangsa.
3.              Memupuk ketegaran dan kepekaan mentapeserta didik terhadap situasi sekitarnyasehingga tidak terjerumus dalam perilaku yang menyimpang baik secara individu maupun kelompok.
4.              Meningkatkan kemampuan untuk menghindarisifat-sifat tercela yang  dapat merusak diri sendiri,orang lain dan lingkungan.
    
  
  Nilai budi pekerti yang harus dimiliki siswa adalah :
1.      Meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esadan selalu menaati ajaranNya.
2.      Menaati ajaran agamanya.
3.      Memiliki dan mengembangkan sikap toleransi.
4.      Memilki raa menghargai diri sendiri.
5.      Tumbuhnya rasa disiplin diri.
6.      Mengembangkan etos kerja / belajar.
7.      Memiliki rasa tanggung jawab.
8.      Memiliki rasa keterbukaan.
9.      Mampu mengembangkan diri.
10.  Mampu berfikir positif.
11.  Mengembangkan potensi diri.
12.  Menumbuhkan cinta dan kasih sayang.
13.  Memliki rasa kebersamaan dan gotong royong.
14.  Memiliki rasa kesetiakawanan .
15.  Saling menghormati
16.  Memiliki tata karma dan sopan santun.
17.  Memiliki rasa malu.
18.  Menumbuhkan kejujuran.
      Adapun  fungsi  pendidikan budi pekerti meliputi:
1.              Pengembangan yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik bagi pesertadidik yang telah tertanam dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
2.              Penyaluran, yaitu untuk membantu peserta didik yang memiliki bakat tertentu agar dapatberkembang dan bermanfaaat secaraoptimalsesuai dengan budaya bangsa.
3.              Perbaikan, yaitu untk memperbaiki kesalahan , kekurangan dan kelemahan peserta didik dalm perilaku sehari-hari.
4.              Pencegahan, yaitu unt mencegah perilaku negatif yang tidak sesuai dengan ajaran agamadan budaya bangsa.
5.              Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri daripenyakit hati,seperti sombong, egois,iri, dngki dan ria agar anak didik tumbuh dan berkembang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
6.              Penyaring, yaitu, untu menyaring budaya budaya bangsa sendiri dan bangsa lain yang tidak sesuai dengannilai nilai budi pekerti.


B. Guru Pembentuk Budi Pekerti
Apapun dan bagaimanapun sistem pendidikannya, guru menjadi komponen dan faktor yang paling  utama  dalam proses pedidikan dan pembentukan kepribadian dan budi pekerti siswa  . Banyak permasalahan yang melingkup dalam diri guru sehingga mempengaruhi kualitas guru. Beberapa diantaranya adalah kondisi social ekonomi, pengaruh budaya cultural guru yang masih termarjinalkan dan belum mendapat penghormatan yang selayaknya, kualitas pendidikan yang heterogen dan cenderung rendah, penguasaan iptek yang rendah akibat daya dukung yang minim, kesadaran akan pentingnya daya saing dan budaya maju yang rendah, budaya inovasi, kreasi yang rendah, permasalahan perlindungan guru yang belum memadai, serta permasalah psikologis masing masing individu. Dari semua permasalahan tersebut, menjadi perhatian serius kepada semau komponen .
        Untuk menjadi guru yang sesungguhnya sesuai dengan tugas, fungsi       dan martabatnya , maka harus  memiliki ciri-ciri kepribadian guru yang baik yaitu :
1.      Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Berakhlak mulia yang tinggi
3.      Memiliki rasa kebangsaan yang tinggi
4.      Jujur dalam berkata dan bertindak
5.      Sabar dalam menjalankan profesi
6.      Disiplin dan kerja keras
7.      Cinta terhadap profesi
8.      Memiliki pandangan yang positif terhadap peserta didik’
9.      Inovatif, kreatif dan memiliki rasa ingi tahu yang tinggi.
10.  Gemar membacadan selalu ingin maju
11.  Demokratis
12.  Bekerjasama secara profesional dengan peserta didik, sejawat dan masyarakat.
13.  Terbuka  terhadap saran dan kritik
14.  Memiliki wawasan internasional.

Untuk menjadi guru yang ideal dan professional, Isjoni (2005) memberi syarat sebagai berikut :
1.      Planner . Artinya guru memiliki program kerja yang jelas, tidak sekedar rutinitas.
2.      Inovator. Guru harus memiliki kemampuan untuk melakukan pembaharuan  yang berkenaan dengan pola pembelajaran termasuk di dalamnya metode, media system evaluasi pembelajaran.
3.      Motivator. Guru mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar.
4.      Capable personal . Guruharus memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantapdan memadai.
5.      Developer. Guru harus mau dan dan terus mengembangkan diriserta menularkan kemampuan, ketrampilannya kepada siswanya.

Kamis, 14 Juli 2011

Optimalisasi Peran Pemerintah Terhadap Eksistensi Madrasah Diniyah

Optimalisasi Peran Pemerintah
Terhadap Eksistensi Madrasah Diniyah
(Rahmat Sahid, Pasca UMS.2011)
                    
Ketentuan dalam pasal 1 UU no. 20 TAHUN 2003 menyatakan bahwa  Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.  Dalam hal penyelenggaraan pendidikan yang berdasarkan kekhasan agama , masyarakat telah berperan aktif dengan munculnya pendidikan kekhususan seperti madrasah diniyah. Madrasah diniyah merupakan bagian dari pendidikan pesantren pada umumnya, yang mengikuti jalur pendidikan nonformal.
Pasal 26 ayat (1) UU no. 20 TAHUN 2003 dinyatakan bahwa Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Menurut ketentuan tersebut, maka keberadaan pesantren dan khususnya madrasah diniyah tidak dapat dinafikan begitu saja. Madrasah Diniyah sebagai pelengkap dan penambah pendidikan formal yang ada. Justru dengan ketentuan tersebut, menjadikan gerak penyelenggaraan madrasah diniyah menjadi diakui, selakigus dibutuhkan dalam dunia pendidikan pada umumnya.
Pemerintah secara jelas telah mengakomodasi keberadaan Madrasah Diniyah sebagai lembaga pendidikan seperti yang tertuang dalam ketentuan pasal 30 ayat (4)  UU no. 20 tahun  2003 yang berbunyiPendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis”.
            Fenomena menarik pada dunia pendidikan saat ini, dengan munculnya pesantren dan madrasah. Pertumbuhan madrasah dan khususnya madrasah diniyah mengalami perkembangan pesat. Survey tahun 1999 telah berdiri berkisar 22.000 Madrasah Diniyah buah  Di sini lah masyarakat dan khususnya orang tua menggantungkan harapan untuk kelengkapan pendidikan yang utuh bagi putra-putrinya karena merasa belum lengkap dengan pendidikan formal.
            Dengan kenyataan yang demikian menjadikan pemerintah sadar akan keberadaan Madrasah Diniyah, dan terus berupaya memberikan dorongan, bantuan demi eksistensi dan kemajuannya. Upaya pemerintah untuk melaksanakan hal tersebut dengan cara :
1.      Menerbitkan Keputusan  Menteri Agama no. I tahun 1946 tentang pemberian bantuan pemerintah kepada  Madrasah Diniyah.
2.      Mendirikan  Lembaga Pendidikan Guru Agama pertama kali di Solo tahun 1951.
3.      Menerbitkan Peraturan Menteri Agama no. 3 tahun 1983 tentang Kurikulum Madrasah Diniyah.
4.      Diakuinya Madrasah Diniyah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional seperti dalam ketentuan GBHN tahun 1999.
5.      Keluarnya SKB dua Menteri ( Menag. Dan Mendiknas. ) no. 1/U/ KB/2000 dan no. MA/86/2000 tentang pesantren salafiyah sebagai Pola Wajar Dikdas 9 tahun.
6.      Diakuinya Madrasah Diniyah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional seperti dalam ketentuan UU no. 20 TAHUN 2003 pasal 30 ayat (4) yang berbunyiPendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis”.
7.      Pemberian hak konsultatif  kepada pesantren lewat Depag. atau Depdiknas.
8.      Pemberian bantuan bentuk natura seperti guru yang diperbantukan , pelatihan guru/ kepala yayasan.
9.      Pemberian bantuan fasilitas lahan pendirian yayasan dari pemerintah daerah bagi yang membutuhkan.
10.  Pemberian bantuan sarana prasarana kegiatan belajar pesantren seperti buku, alat peraga dan fasilitas lain.
11.  Membantu pengembangan pesantren lewat kerjasama pemerintah dengan IDB ( Islamic Development Bank )
12.  Pemberian bantuan pendanaan lewat Dana BOS, Beasiswa prestasi , Beasiswa miskin, BKM, BKS, dll.
13.  Pemberian bantuan berupa  Panduan pengelolaan pesantren dan madrasah diniyah yang efektif.
14.  Pemberian bantuan pedoman penyelenggaraan manajerial pesantren dan madrasah diniyah yang efektif.
Untuk dapat mensinergikan penyelenggaraan pendidikan dalam pesantren dan Madrasah Diniyah, maka  harus ada keseimbangan antara pola dan tipe serta kekhasan Madrasah Diniyah tersebut dengan bantuan pemerintah yang ada. Untuk itu diperlukan beberapa langkah yang harus ditempuh oleh Madrasah Diniyah untuk dapat mencapai kemajuan. Cara yang harus ditempuh adalah :
a.       Mereformasi metodologi sistem belajar mengajar di pesantren.
b.      Meningkatkan dedikasi sosial dalam interaksi sosial yang bertanggung jawab tentang kehidupan bermasyarakat.
c.       Meningkatkan transparansi dan keterbukaan antara kiai dan santri.
d.      Memunculkan keberanian menegakkan otonomi pendidikan pesantren
e.       Meningkatkan kualivikasi kiai yang menjadi target pesantren itu sendiri.
f.       Menargetkan sistem alternatif seperti Pendidikan Tinggi Pesantren sesuai standart.
g.       Proaktif merekonstruksi eksistensi diri.